Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MUI Siap Kaji Fatwa soal Penghasilan Rangkap Jabatan Menteri dan Wamen

Kompas.com, 12 September 2025, 08:04 WIB
Farid Assifa

Editor

Sumber MUIDigital

KOMPAS.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) memastikan akan menindaklanjuti permintaan fatwa dari Center of Economic and Law Studies (Celios) terkait penghasilan menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengatakan pihaknya menyambut baik adanya permintaan fatwa tersebut.

Menurutnya, setiap permintaan fatwa dari masyarakat atau lembaga—yang dalam istilah fikih disebut mustafti—akan diproses melalui mekanisme kajian mendalam di internal MUI.

“Ya, terima kasih (Celios) telah meminta fatwa kepada MUI. Setiap permintaan fatwa dari masyarakat akan dikaji dan akan diputuskan. Permintaan fatwa ini sangat baik demi menjaga setiap penghasilan yang didapat dipastikan kehalalannya,” ujar Kiai Cholil dilansir dari MUIDigital, Kamis (11/9/2025).

Baca juga: Rangkap Jabatan Menteri-Komisiaris BUMN Disorot, MUI Siapkan Kajian Fatwa

Ia menjelaskan, surat permintaan fatwa dari Celios akan segera diteruskan kepada Komisi Fatwa MUI.

Komisi tersebut memiliki kewenangan penuh untuk mengkaji persoalan hukum Islam terkait praktik rangkap jabatan sekaligus penerimaan gaji atau honorarium dari dua posisi tersebut.

“Fatwa yang dikeluarkan nantinya tidak hanya menjadi panduan bagi pejabat negara yang bersangkutan. Tetapi juga berfungsi sebagai rambu moral bagi umat Islam secara umum dalam menjaga prinsip keadilan, transparansi, dan amanah dalam pengelolaan keuangan,” tegasnya.

Celios Usulkan Fatwa Rangkap Jabatan

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diminta mengeluarkan fatwa soal gaji para wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Permintaan ini diajukan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melarang rangkap jabatan wakil menteri.

“Putusan Mahkamah Konstitusi jelas melarang rangkap jabatan Menteri dan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan. Kami meminta fatwa MUI agar umat Islam, khususnya pejabat negara, dapat menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios, Wahyu Askar, kepada Kompas.com, Selasa (9/9/2025).

Baca juga: MUI Diminta Keluarkan Fatwa Gaji Wamen Rangkap Jabatan

Askar menilai, ketika pejabat negara masih menerima penghasilan dari jabatan yang sudah jelas dilarang, maka ada persoalan etis yang harus dijawab.

Karena itu, Celios menilai fatwa MUI penting agar ada panduan syariah yang menegaskan bagaimana seorang pejabat seharusnya bersikap terkait putusan MK tersebut.

“Isu rangkap jabatan ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral pejabat negara. MK telah menjalankan tugasnya menjalankan konstitusi. Tokoh agama juga bisa terlibat untuk menjaga etika pejabat negara,” tambahnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com