Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MUI Didesak Keluarkan Fatwa Haji Hanya Satu Kali

Kompas.com - 22/08/2025, 13:06 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com – Ketua Umum IKA Pondok Pesantren Ibadurrahman YLPI Tegallega Sukabumi, Toto Izul Fatah, mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia hanya diperbolehkan menunaikan ibadah haji satu kali.

Pernyataan ini disampaikan Toto dalam keterangan tertulis, menanggapi masalah pengelolaan haji yang memicu penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan kerugian mencapai sekitar Rp 1 triliun.

Kasus ini melibatkan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang diduga terlibat dalam penyelewengan pengelolaan kuota haji.

Baca juga: BP Haji Siapkan Kampung Haji Indonesia di Mekkah, Berjarak 2–3 Km dari Masjidil Haram

Kuota yang seharusnya dialokasikan untuk haji reguler diduga dialihkan ke haji khusus dalam jumlah yang signifikan.

Toto, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, menilai bahwa kasus ini mencerminkan praktik tidak etis oleh oknum penyelenggara haji yang berkolusi dengan calon haji berkantong tebal.

"Praktik kotor seperti itu tak mungkin terjadi jika tak ada pertemuan dua kepentingan antara oknum penyelenggara yang korup dengan calon haji yang bernafsu ingin pergi haji karena merasa punya banyak uang," ujarnya, Jumat (22/8/2025).

Ia juga menduga bahwa mayoritas calon haji khusus, yang membayar biaya jauh lebih mahal, sudah lebih dari sekali menunaikan ibadah haji.

Mereka tampaknya mengabaikan ratusan ribu calon haji reguler yang masih menunggu giliran bertahun-tahun.

"Ibadah itu, termasuk haji, idealnya datang dari ketulusan dan kebersihan hati, bukan karena nafsu, candu, dan keserakahan," jelas Toto.

Toto mencontohkan bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menunaikan ibadah haji satu kali, yaitu pada tahun 10 Hijriah yang dikenal sebagai haji wada.

Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah menyampaikan pesan terakhir tentang pentingnya persatuan, kesabaran, dan pengorbanan serta menjauhi sikap jahiliyah.

"Kalau Rasulullah saja hanya satu kali, kenapa umatnya harus memaksakan diri berkali-kali?" tanya Toto.

Fatwa MUI Acuan untuk BPH

Ia mengusulkan agar fatwa MUI menjadi acuan bagi Badan Penyelenggara Haji (BPH) untuk melarang mereka yang sudah pernah menunaikan haji untuk melakukannya lagi.

Toto juga menyarankan agar rukun Islam yang kelima, haji, diganti dengan makrifat kepada Allah, yang dalam Tasawuf merupakan puncak kesadaran spiritual.

"Seorang hamba yang sudah mencapai kesadaran tinggi tidak akan bernafsu ingin pergi ke Baitullah dengan mengorbankan antrian panjang calon jemaah haji lainnya," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa banyak cara lain untuk mendapatkan pahala yang setara dengan ibadah haji, seperti membantu sesama yang membutuhkan.

Baca juga: Kasus Mendesak, DPR Setujui Uang Muka Haji 2026 Rp 2,7 Triliun untuk 203 Ribu Jemaah

Toto menekankan bahwa mereka yang ingin menunaikan haji berkali-kali harus mempertimbangkan untuk membantu orang-orang miskin, anak yatim piatu, dan mereka yang membutuhkan bantuan.

"Baitullah tidak harus identik dengan berkunjung ke Mekah. Orang-orang yang membutuhkan bantuan di sekitar kita juga bisa menjadi rumah Allah," pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com