KOMPAS.com – Di tengah memanasnya polemik kepemimpinan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebuah momen hening justru muncul dari ketinggian 30.000 kaki.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan mantan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) secara tak terduga berada dalam satu pesawat yang sama pada Kamis (27/11/2025)—tanpa ada percakapan sedikit pun di antara keduanya.
Foto keduanya yang berada dalam satu maskapai Batik Air ID 7511 dari Jakarta menuju Surabaya beredar cepat di media sosial.
Di tengah situasi organisasi yang memanas, publik pun langsung menafsirkan momen itu sebagai sinyal politik.
Baca juga: Klarifikasi PBNU soal Foto Rais Aam dan Gus Yahya Dalam Satu Pesawat
Namun Wasekjen PBNU H Nur Hidayat buru-buru memberikan klarifikasi agar spekulasinya tidak melebar.
Menurut laporan resmi yang diteruskan kepada Kompas.com, Rais Aam duduk di kursi 3D, sementara Gus Yahya dan rombongannya berada tepat di baris kedua.
Hanya berjarak beberapa langkah, namun jarak psikologis antara dua pucuk pimpinan PBNU itu terlihat begitu lebar.
“Tidak ada pembicaraan apa pun selama di dalam pesawat,” tegas Nur Hidayat.
Sebuah kalimat pendek yang menggambarkan betapa tegangnya relasi dua tokoh yang sebelumnya bekerja satu barisan di PBNU.
Setibanya di Bandara Juanda pukul 07.28 WIB, staf Gus Yahya sempat mengarahkan Rais Aam menuju ruang VIP.
Namun Rais Aam memilih berjalan menuju parkiran karena sehari sebelumnya beliau berangkat menggunakan mobil pribadi.
Di titik inilah Gus Yahya dan rombongan menyusul dari belakang sambil menyampaikan permohonan waktu untuk bersilaturahim.
Rais Aam menjawab singkat, “Mangke kulo ningali jadwal.” Jawaban yang sopan, namun bernada menjaga jarak.
Momen berjalan beriringan inilah yang diabadikan sejumlah kamera ponsel, lalu menyebar luas, memancing tanya: apakah ini tanda mencairnya hubungan atau justru menunjukkan ketegangan yang ditutup rapi?
Karena khawatir disalahartikan, Rais Aam melalui stafnya meminta semua foto dan video pertemuan singkat itu di-take down.
PBNU menegaskan, konteksnya murni situasional dan bukan momentum politik.
“Persoalan organisasi harus diselesaikan melalui mekanisme resmi PBNU, bukan opini publik,” ujar Nur Hidayat kepada Kompas.com, Kamis.
Pertemuan tanpa percakapan itu terjadi hanya sehari setelah Syuriyah PBNU menyatakan masa jabatan Gus Yahya sebagai Ketua Umum berakhir karena melewati tenggat pengunduran diri berdasarkan risalah Rapat Harian Syuriyah.
Baca juga: PWNU Tiga Wilayah Serukan Islah Redakan Dinamika Internal PBNU
Gus Yahya membantah tegas, menyebut dirinya masih ketua umum yang sah.
Ketegangan dua pucuk pimpinan PBNU itu kini tersisa dalam potret:
Dua tokoh, satu organisasi. Dua kursi berdekatan, tetapi tanpa satu kata pun terucap.
Sebuah momen sunyi yang—bagi publik—justru berbicara sangat keras.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang