KOMPAS.com - Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada 622 M bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi menandai babak baru sejarah peradaban Islam.
Setelah tiba di Madinah yang saat itu dikenal sebagai Yatsrib, beliau menghadapi tantangan besar yaitu, menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri atas kelompok Muslim Muhajirin dan Anshar, suku-suku Arab, serta komunitas Yahudi yang memiliki tradisi dan agama berbeda.
Untuk itulah lahir, Piagam Madinah sebuah dokumen perjanjian yang menjadi fondasi kehidupan bersama dan pemerintahan awal umat Islam.
Baca juga: Kisah Usamah bin Zaid: Panglima Perang Termuda dalam Sejarah Islam
Kondisi sosial Madinah sebelum hijrah Nabi ditandai oleh perbedaan suku, agama, dan kepentingan politik.
Diperkirakan populasi kota itu terdiri dari Muslim, penganut paganisme, serta komunitas Yahudi yang cukup besar.
Dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan stabil, Nabi Muhammad menginisiasi dialog dan pertemuan dengan berbagai kelompok ini.
Setelah Muhajirin dan Anshar bersatu, beliau menyusun Piagam Madinah yang kemudian disepakati oleh para pemimpin komunitas.
Dokumen itu merekam kesepakatan untuk hidup berdampingan dalam satu ummah dengan prinsip kesetaraan, toleransi, serta tanggung jawab bersama.
Dikutip dari buku Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW karya Ja’far Subhani, perjuangan Nabi Muhammad tidak mudah.
Beliau harus menengahi perselisihan suku Aus dan Khazraj yang telah lama berkonflik, serta mendapatkan kepercayaan dari komunitas religi lain.
Melalui pendekatan moral dan kebijakan yang adil, beliau berhasil menyatukan berbagai pihak dalam satu rangkaian tanggung jawab sosial dan politik.
Peran beliau bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai negosiator, hakim, dan mediator yang memastikan setiap pihak merasa dihargai dalam kerangka peraturan umum yang disepakati bersama.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Piagam Madinah bertujuan mewujudkan kedamaian dan ketertiban sosial di tengah keberagaman.
Dokumen ini memuat pasal-pasal yang mengatur hubungan antar kelompok, termasuk hak dan kewajiban setiap pihak, perlindungan nyawa dan harta, serta ketentuan tentang kerja sama menghadapi ancaman luar.
Piagam itu menegaskan bahwa seluruh warga Madinah, meski beragama berbeda, merupakan satu komunitas (ummah) yang harus hidup rukun, saling membantu, dan saling menjaga keadilan.
Hal ini mencerminkan prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang toleran dan inklusif, jauh melampaui sekadar aturan agama atau etnis tertentu.
Piagam Madinah sering disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Islam dan bahkan menjadi salah satu dokumen awal yang mengatur tata hubungan antar agama dan kelompok sosial dalam satu komunitas politik.
Dalam konteks modern, piagam ini memiliki makna penting sebagai model kerja sama lintas identitas, menjamin kebebasan beribadah, hak sipil, serta perlindungan terhadap minoritas.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, termasuk penghormatan terhadap kebebasan beragama dan perlindungan hak individu, menjadi pelajaran penting dalam membangun masyarakat plural yang damai dan berkeadilan.
Baca juga: Kisah Perang Uhud: Kekalahan Umat Islam atas Pasukan Kaum Musyrikin
Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang memuat berbagai ketentuan penting bagi kehidupan bersama. Beberapa pasal utama antara lain:
Dengan demikian, isi piagam ini mencakup aturan tentang politik, sosial, keagamaan hingga sistem keamanan bersama yang menjadi fondasi stabilitas masyarakat Madinah pada masa awal Islam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang