Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Ulama dalam Kemerdekaan RI: Dari Resolusi Jihad hingga Perumus Pancasila

Kompas.com, 8 Agustus 2025, 00:17 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Kemerdekaan Indonesia yang kita nikmati hari ini tidak lahir dalam semalam.

Di balik proklamasi 17 Agustus 1945, ada peran besar para ulama yang mengorbankan ilmu, tenaga, dan jiwa demi tegaknya bangsa.

Mereka bukan hanya tokoh agama, tetapi juga arsitek kebangsaan yang menggerakkan rakyat melawan penjajahan.

Salah satu tonggak awal pergerakan nasional dimulai dari Sarekat Islam (SI) yang didirikan pada 1911 oleh HOS Tjokroaminoto.

Baca juga: Muhammadiyah Sosialisasikan Kalender Hijriah Global di Mesir, Langkah Menuju Kesatuan Dunia Islam

Melalui SI, semangat persatuan dan nasionalisme Islam mulai ditanamkan. Tjokroaminoto dikenal bukan hanya sebagai pemimpin SI, tapi juga guru bagi tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, yang kelak memproklamasikan kemerdekaan.

Kemudian pada tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme sekaligus penguatan identitas keislaman.

Kontribusinya yang paling monumental adalah Resolusi Jihad pada Oktober 1945. Fatwa ini menyatakan bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari jihad fi sabilillah, yang mendorong lahirnya perlawanan rakyat, terutama di Surabaya.

Dari sisi lain, KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912, fokus pada pendidikan dan reformasi sosial.

Ia meyakini bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah bentuk perlawanan terhadap kebodohan dan penjajahan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi fondasi lahirnya generasi pembelajar yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan.

Usai kemerdekaan, perjuangan para ulama belum selesai. KH Wahid Hasyim, putra dari KH Hasyim Asy’ari, turut menjadi bagian dari BPUPKI dan berperan penting dalam perumusan dasar negara Indonesia.

Ia menjembatani antara nilai-nilai keagamaan dengan prinsip-prinsip universal dalam Pancasila.

Selain itu, organisasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi berperan besar dalam menyatukan kekuatan Islam dalam perjuangan politik dan konsolidasi pasca-kemerdekaan.

MIAI, yang berdiri tahun 1937, menjadi wadah persatuan umat Islam, yang kemudian dilanjutkan perannya oleh Partai Masyumi.

Ulama tidak hanya berdakwah dari mimbar, tetapi juga memimpin dari garis depan perjuangan.

Baca juga: Banser Apresiasi Densus 88 Tangkap 6 Terduga Terorisme, Dorong Kolaborasi Tangkal Radikalisme

Peran mereka sangat penting dalam membentuk karakter bangsa: moderat, religius, dan cinta tanah air.

Dari resolusi jihad hingga meja perumusan Pancasila, perjuangan para ulama telah menorehkan jejak emas dalam sejarah Indonesia.

Kini, tugas kita adalah meneruskan semangat itu: menjaga kemerdekaan dengan ilmu, iman, dan aksi nyata.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com