KOMPAS.com — “Saya sering bertanya, Indonesia Emas ke mana?” Kalimat itu diucapkan Rahmat Hidayat Pulungan, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, di tengah ujian terbuka program doktoralnya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rabu (29/10/2025).
Pertanyaan tersebut bukan sekadar refleksi pribadi, tetapi juga menggambarkan kegelisahan intelektual yang mendorong Rahmat meneliti tema kepemimpinan berkelanjutan (sustainability leadership) di sektor strategis negara, khususnya industri tambang BUMN.
Dalam disertasinya berjudul “Pengaruh Sustainability Leadership terhadap Sustainability Performance di PT Mineral Industri Indonesia (Persero): Peran Kepemimpinan dalam Orkestrasi Sumber Daya Organisasi”, Rahmat menyoroti bagaimana peran pemimpin menentukan arah keberlanjutan perusahaan di tengah krisis sumber daya dan tantangan transisi energi global.
Baca juga: Wasekjen PBNU Rahmat Pulungan Soroti Kinerja Danantara
Penelitian ini lahir dari pengalaman panjang Rahmat lebih dari satu dekade bekerja di sektor pertambangan PT Bukit Asam Tbk sebagai komisaris, serta sering terlibat rapat di lingkungan perusahaan tambang negara seperti PT Antam Tbk dan sejumlah entitas di bawah Mining Industry Indonesia (MIND ID Group).
“Selama bekerja di dunia tambang, saya melihat diskursus inovasi masih berorientasi pada produksi semata. Padahal, keberlanjutan menuntut cara pandang yang lebih luas—bagaimana produksi tidak hanya efisien, tetapi juga bertanggung jawab,” ujarnya di hadapan dewan penguji.
Dari pengalaman itu, Rahmat menyimpulkan bahwa tantangan industri tambang bukan hanya soal eksplorasi dan produksi, melainkan bagaimana kepemimpinan mampu mengorkestrasi sumber daya organisasi untuk menghasilkan inovasi berkelanjutan.
Dalam paparannya, Rahmat menegaskan bahwa konsep sustainability sejatinya bukan barang baru bagi bangsa Indonesia. “Sustainability secara akademik adalah konsep operasional dari Pancasila,” ujarnya.
Menurutnya, nilai-nilai keberlanjutan—yang dalam literatur Barat dibangun di atas tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan—telah lama hidup dalam falsafah bangsa. “Pancasila mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Itu inti keberlanjutan,” kata Rahmat.
Ia menambahkan, kepemimpinan yang berkelanjutan (sustainability leadership) tidak sekadar soal kemampuan manajerial, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual untuk memastikan sumber daya dikelola demi kesejahteraan generasi mendatang.
Dalam penelitiannya terhadap ratusan responden di lingkungan PT Mineral Industri Indonesia (Persero), Rahmat menemukan bahwa pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja berkelanjutan (sustainability performance) berjalan signifikan melalui jalur mediasi sumber daya organisasi.
Artinya, seorang pemimpin yang berorientasi pada keberlanjutan dapat meningkatkan kinerja organisasi dengan cara memperkuat kapasitas inovasi, pembelajaran organisasi, dan manajemen aset strategis.
“Pemimpin berkelanjutan bukan hanya mengatur, tetapi menginspirasi dan memberdayakan. Ia menanamkan nilai bahwa pertumbuhan harus selaras dengan kelestarian,” tutur Rahmat.
Menutup presentasinya, Rahmat menyampaikan refleksi personal yang menggetarkan ruang sidang.
“Saya selalu bertanya, anak-anak saya nanti hidup di Indonesia seperti apa? Kita menuju 2045 dengan populasi lebih dari 300 juta jiwa, sementara daratan kita terbatas. Jika tidak ada perubahan mindset dan strategi, kita bisa menghadapi multi-krisis: pangan, energi, air, dan ruang hidup,” ujarnya.
Baca juga: Wasekjen PBNU: Patriot Bond Jangan Jadi Instrumen Danantara Mengelola Sampah
Bagi Rahmat, penelitian ini bukan sekadar syarat akademik, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan intelektual untuk ikut menyiapkan arah keberlanjutan bangsa.
“Keberlanjutan tidak bisa hanya jadi jargon. Ia harus menjadi kesadaran kolektif—dari pemimpin, birokrat, hingga warga negara,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang