KOMPAS.com — Kementerian Agama (Kemenag) mengadakan Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur'an sebagai forum uji publik untuk penyempurnaan tafsir yang sedang dalam proses pembaruan.
Kegiatan ini berlangsung di Jakarta dari Rabu hingga Jumat, 19 hingga 21 November 2025, dan dihadiri oleh puluhan pakar tafsir, ulama, akademisi, serta perwakilan lembaga keagamaan untuk memberikan masukan terhadap rancangan tafsir terbaru Kemenag.
Penyempurnaan tafsir ini dilakukan untuk menjawab dinamika sosial-keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat.
Dalam laporannya, panitia pelaksana menyampaikan bahwa perubahan sosial, kemunculan isu-isu kontemporer, serta kebutuhan umat akan tafsir yang relevan menjadi alasan utama dilakukannya penyegaran.
Baca juga: M Quraish Shihab Paparkan Pentingnya Toleransi dalam Menyikapi Perbedaan Tafsir Alquran
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, bekerja sama dengan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dan Badan Moderasi Beragama.
Sejak dimulai pada Juli 2025, tim penyusun telah merampungkan tiga juz dari total 30 juz yang ditargetkan selesai pada tahun 2027 hingga 2028.
Sekitar 54 narasumber hadir dalam forum ini, mewakili berbagai unsur seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), perguruan tinggi keagamaan negeri dan swasta, pesantren, serta pusat studi Al-Qur'an.
Beragam disiplin ilmu turut dilibatkan, mulai dari tafsir, hadis, falak, hingga kajian sosial-keagamaan.
“Hari ini sudah menyelesaikan tiga tafsir dari rencananya akan 30 juz. Mungkin sekitar tahun 2027 atau 2028, kita akan memiliki Tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama yang paling baru,” ujar Direktur Jenderal Bimas Islam, Abu Rokhmad, dalam laporannya.
Abu menjelaskan bahwa penyempurnaan tafsir merupakan bagian dari tanggung jawab Kemenag dalam menyediakan rujukan keagamaan yang kredibel bagi masyarakat.
“Ini kegiatan yang cukup besar, sifatnya akademik, yaitu pertemuan ulama tafsir Al-Qur'an seluruh Indonesia. Kementerian Agama sedang melakukan penyempurnaan Tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama yang usianya sudah lebih dari 20 tahun. Sedang kita lakukan review atau penyempurnaan,” tuturnya.
Ia juga mengakui bahwa proses penyusunan tafsir secara kolaboratif memiliki tantangan tersendiri karena melibatkan berbagai pandangan keilmuan.
Meski demikian, keragaman tersebut justru menjadi kekuatan dalam menghasilkan tafsir yang lebih komprehensif dan dapat diterima secara luas.
“Kami sangat mengapresiasi kontribusi para ulama, pakar, dan seluruh narasumber yang mencurahkan pikirannya untuk penyempurnaan tafsir ini,” kata Abu.
Dalam kesempatan tersebut, Abu menekankan bahwa uji publik menjadi ruang penting untuk memverifikasi metodologi, rujukan, dan konteks penafsiran.
Kolaborasi antara para mufasir, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat memperkaya perspektif, sehingga produk tafsir tidak hanya kuat secara tekstual, tetapi juga sensitif terhadap isu sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Baca juga: Presiden Tak Hadiri Munas MUI, Ma’ruf Amin: Kita Tidak Boleh Lemas
Selain bersifat akademik, kegiatan ini juga dianggap strategis untuk penguatan moderasi beragama.
Dengan proses penyusunan yang melibatkan banyak disiplin ilmu dan berlangsung secara transparan, tafsir yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi rujukan yang memperkuat harmoni sosial, mencegah penyempitan makna ayat, serta menghindarkan publik dari interpretasi ekstrem.
Tafsir yang moderat dan kontekstual dinilai penting untuk menjawab kebutuhan umat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang