KOMPAS.com – Jaringan GUSDURian, jejaring masyarakat sipil yang berkomitmen melanjutkan nilai-nilai KH. Abdurrahman Wahid, mengambil langkah tegas dan strategis dalam kasus hukum yang menimpa tiga aktivis pro-demokrasi.
Mereka secara resmi mengajukan diri sebagai penjamin penangguhan penahanan bagi aktivis lingkungan Adetya Pramandira, Fathul Munif, dan aktivis pro-demokrasi Dafa Labidulloh Darmaji.
Baca juga: Wamenag Romo Syafi’i Terima Kunjungan Panitia Reuni 212, Tegaskan Peran Pemerintah
Adetya Pramandira dan Fathul Munif ditetapkan sebagai tersangka pada 28 November 2025. Keduanya dijerat dengan Pasal 45A Jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 160 KUHP atas dugaan penghasutan saat demonstrasi yang terjadi pada Agustus lalu.
Jerat yang sama sebelumnya juga dikenakan kepada Dafa Labidulloh Darmaji di Solo, menambah daftar panjang aktivis yang dikriminalisasi karena bersikap kritis.
Jaringan GUSDURian melihat penahanan ini sebagai preseden buruk bagi demokrasi. Mereka berargumen bahwa jika kritik dibungkam dan pengkritik dikriminalisasi, maka supremasi sipil akan terancam.
Oleh karena itu, langkah penjaminan diambil sebagai upaya konkrit membela hak-hak sipil dan kebebasan berekspresi.
"UU ITE kembali menjadi bencana hukum bagi kebebasan berpendapat. Jika kritik dibungkam dan pengkritik dikriminalisasi, maka jargon 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat' tidak lagi berjalan," kata Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid, dalam rilis yang diterima KOMPAS.com. Jumat (5/12/2025) .
Baca juga: Kuota Haji 2026 Berubah, Menhaj Jelaskan Alasan Pemerintah Pilih Sistem Waiting List
Dalam dokumen permohonan, Jaringan GUSDURian menggunakan landasan hukum yang kuat, yakni Pasal 31 ayat (1) KUHAP, yang memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan penangguhan penahanan.
Mereka juga mengingatkan bahwa penahanan haruslah bersifat necessity (perlu). Jika tidak, hal itu dapat dikategorikan sebagai unnecessary detention (penahanan yang tidak dibutuhkan) atau arbitrary detention (penahanan sewenang-wenang), yang melanggar Pasal 9 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005).
Jaringan GUSDURian mendasarkan permohonan penjaminan ini pada dua pertimbangan utama:
Ketiga aktivis tersebut tercatat belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya.
Mereka adalah individu yang aktif dan konsisten dalam advokasi perlindungan lingkungan hidup, penegakan HAM, dan demokrasi.
Sebagai penjamin, Jaringan GUSDURian berkomitmen penuh terhadap proses hukum. Mereka menjamin bahwa ketiga aktivis tersebut, khususnya Adetya Pramandira, Fathul Munif, dan Dafa Labidulloh Darmaji, tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mempersulit jalannya proses hukum.
Mereka juga menyatakan kesanggupan penuh untuk memastikan para aktivis akan menghadiri setiap proses hukum yang dibutuhkan oleh aparat penegak hukum.
Untuk kasus Adetya Pramandira dan Fathul Munif, permohonan penangguhan resmi dengan nomor surat 118-SP-SekNas JGD-XII-2025 tertanggal 2 Desember 2025, telah dikirimkan kepada Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Cq Kasatreskrim.
Langkah Jaringan GUSDURian ini didukung oleh koalisi penjamin yang terdiri dari figur-figur bereputasi. Para penjamin ini mencakup akademisi, pakar hukum, aktivis demokrasi, hingga penggerak lintas iman yang selama ini bergerak bersama dalam memperjuangkan keadilan.
Keterlibatan berbagai elemen profesional ini secara signifikan meningkatkan kredibilitas dan otoritas permohonan penangguhan tersebut.
Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian, yang juga menandatangani permohonan tersebut, menekankan bahwa tindakan ini adalah upaya untuk menjaga tegaknya keadilan di tengah tantangan yang dihadapi oleh aktivis.
"Kami berharap agar permohonan penangguhan penahanan ini dikabulkan demi tegaknya keadilan," ujar Alissa Wahid, mewakili Keluarga Besar Jaringan GUSDURian.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang