KOMPAS.com-Bencana yang melanda Pulau Sumatera telah menyebabkan kerusakan parah pada rumah dan infrastruktur, namun dampaknya tidak berhenti di situ.
Aktivitas ibadah para pengungsi pun terganggu akibat kondisi yang serba terbatas.
Air yang tercampur lumpur, pakaian yang basah dan kotor, serta ketiadaan pakaian bersih di tenda pengungsian menjadi tantangan nyata bagi mereka.
Baca juga: Sholat Jamak dalam Situasi Bencana: Panduan Lengkap Berdasarkan Hadis Rasulullah SAW
Sering kali, pengungsi bertanya-tanya: apakah sholat tetap sah meskipun pakaian terkena najis?
Dalam Fikih Kebencanaan yang disusun oleh Muhammadiyah, masalah ini dijawab secara tegas.
Dalam situasi darurat, sholat tetap wajib dilaksanakan meskipun pakaian yang dikenakan tidak bisa dibersihkan dari najis. Kotoran yang menempel pada pakaian tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan sholat.
Baca juga: Sholat Taubat: Cara Praktis, Doa, dan Manfaat untuk Memohon Ampunan Allah
Justru, syariat memberikan kelonggaran agar ibadah tetap bisa dilaksanakan meskipun dalam keterbatasan.
Pada kondisi normal, syariat memang mewajibkan pakaian yang digunakan untuk salat dalam keadaan suci.
Hal ini sejalan dengan perintah dalam QS. al-A‘rāf ayat 31, yang secara eksplisit mengatur etika berpakaian saat sholat:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَࣖ ٣١
yâ banî âdama khudzû zînatakum ‘inda kulli masjidiw wa kulû wasyrabû wa lâ tusrifû, innahû lâ yuḫibbul-musrifîn
Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
Ayat ini menegaskan bahwa sholat idealnya dilakukan dengan pakaian yang bersih dan layak. Namun, ayat tersebut tidak bermaksud menuntut sesuatu yang mustahil ketika bencana terjadi dan pakaian bersih tidak tersedia.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
"Tidak diterima sholat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil korupsi." [HR Muslim]
Baca juga: Siapa yang Berhak Menjadi Imam Sholat? Ini Syarat Wajib dan Keutamaannya dalam Islam
Dalam keadaan normal, pakaian yang najis memang dapat membatalkan sholat. Namun, hadis ini tidak harus dipahami secara kaku ketika seseorang tidak mampu menghilangkan najis karena kondisi ekstrem, seperti banjir atau ketiadaan pakaian bersih.
Fikih juga mengajarkan prinsip-prinsip yang sangat relevan untuk korban bencana, seperti:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ
"Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang."
Dan juga:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
"Kesulitan melahirkan kemudahan."
Kedua kaidah ini menjadi dasar bahwa pakaian yang terkena najis tidak lagi menghalangi sahnya sholat dalam kondisi darurat, seperti banjir bandang.
Dalam situasi seperti itu, pakaian yang basah dan tercampur lumpur membuat penyucian menjadi sangat sulit, bahkan mustahil dalam beberapa hari pertama pascabencana.
Syariat tidak menuntut kesempurnaan dalam keadaan darurat, melainkan menuntut ketaatan sesuai dengan kemampuan.
Firman Allah dalam QS. al-Taghābun ayat 16 semakin menegaskan prinsip ini:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ١٦
fattaqullâha mastatha‘tum wasma‘û wa athî‘û wa anfiqû khairal li'anfusikum, wa may yûqa syuḫḫa nafsihî fa ulâ'ika humul-mufliḫûn
Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! Dengarkanlah, taatlah, dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu! Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban beribadah ditentukan oleh kemampuan nyata seseorang, bukan oleh standar ideal yang tidak dapat dipenuhi dalam kondisi bencana.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang