KOMPAS.com-Dalam situasi bencana atau ketika masyarakat berada dalam kondisi siaga bencana, pelaksanaan sholat dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip rukhsah (keringanan).
Salah satu bentuk rukhsah dalam ibadah sholat adalah dengan menjamak sholat, yang memungkinkan umat Islam untuk mengerjakan dua shalat yang berbeda waktu dalam satu waktu.
Proses pelaksanaan sholat jamak ini bisa dilakukan dengan dua cara: taqdim (memajukan) atau ta’khir (membelakangkan).
Baca juga: Sholat Taubat: Cara Praktis, Doa, dan Manfaat untuk Memohon Ampunan Allah
Dilansir dari laman Muhammadiyah yang mengutip Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Jilid 3, Bagian Keempat, Pembahasan Kedua tentang Fikih Kebencanaan,sholat jamak dalam kondisi bencana adalah solusi praktis yang diajarkan dalam ajaran Islam.
Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat dzuhur dan ashar di Madinah secara jamak, tidak dalam keadaan takut atau dalam perjalanan, melainkan dalam situasi normal.
Hal ini menunjukkan bahwa sholat jamak bisa dilakukan ketika ada alasan yang sah, seperti kondisi yang menyulitkan, seperti bencana atau keadaan darurat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan hal ini:
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Rasulullah –shallallahu ‘alayhi wa sallam– shalat Dzhuhur dan Ashar di Madinah secara jamak, bukan karena takut, dan juga bukan dalam perjalanan.” (HR Muslim).
Melalui hadis ini, kita memahami bahwa sholat jamak dapat dilakukan dalam kondisi yang tidak biasa, seperti saat menghadapi bencana, untuk menghindari kesulitan bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah sholat.
Baca juga: Tata Cara Sholat Jenazah Lengkap dengan Doa, Niat, dan Dalilnya
Dalam keadaan bencana, terkadang seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan sholat secara normal, misalnya karena cedera atau kondisi fisik yang membatasi.
Islam memberikan kelonggaran, di mana seseorang bisa melaksanakan sholat dalam keadaan duduk, atau jika tidak mampu duduk, bisa dilakukan sambil berbaring. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan:
"Jika sesuatu yang pokok tidak bisa dilaksanakan, maka dapat digantikan dengan alternatifnya."
Ini menegaskan bahwa dalam kondisi darurat atau ketidakmampuan fisik, seorang Muslim tetap dapat menjalankan kewajiban shalat meski dalam keadaan yang disesuaikan dengan kondisinya.
Baca juga: Tata Cara Sholat Taubat Zina Dua Rakaat dan Doa Lengkapnya Sesuai Sunnah
Pada situasi evakuasi bencana, seseorang yang tidak dapat melaksanakan shalat pada waktunya tidak perlu khawatir, karena kewajiban shalat tetap berlaku.
Sholat adalah kewajiban yang tidak bisa diabaikan kecuali karena alasan tertentu, seperti hilangnya akal sehat, haid, atau nifas pada wanita.
Jika sholat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena keadaan darurat, maka sholat bisa dilakukan pada waktu yang lebih aman dan memungkinkan.
Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa sholat harus diqadha (dilakukan di luar waktu) secara khusus, kecuali pada keadaan tertentu. Namun, jika seseorang tertidur atau lupa, sholat bisa dilakukan ketika ia terbangun atau mengingatnya, seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut:
Dari Abu Qotadah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Para sahabat memberitahukan kepada Nabi –shallallahu ‘alayhi wa sallam– bahwa mereka tertidur sehingga luput shalat pada waktunya, maka Nabi bersabda, ‘Tidak ada kelalaian karena ketiduran. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan terjaga. Maka apabila seseorang dari kalian lupa atau tertidur sehingga luput sholatnya, maka kerjakanlah sholat itu apabila telah ingat’” (HR At-Tirmidzi).
Situasi evakuasi yang menyebabkan ketiduran atau kelupaan untuk sholat bisa diqiyaskan dengan keadaan seperti yang dijelaskan dalam hadis tersebut, di mana sholat dapat dilakukan ketika seseorang ingat atau terbangun.
Dalam keadaan normal, Nabi SAW mengizinkan sholat jamak dalam perjalanan dengan batasan waktu 19 hari, seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Nabi –shallallahu ‘alayhi wa sallam– tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu sholat qashar. Maka apabila kami berpergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar sholat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya.” (HR Bukhari).
Namun, untuk situasi bencana, tidak ada batas waktu pasti untuk pelaksanaan sholat jamak. Hal ini disesuaikan dengan situasi yang menyulitkan, seperti hilangnya kesulitan (masyaqqah) atau kesempitan (haraj) tersebut. Dengan kata lain, selama kondisi bencana yang menyulitkan itu masih berlangsung, sholat jamak tetap dapat dilakukan.
Hal ini juga dicontohkan dalam hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan sholat jamak tidak hanya dalam perjalanan atau karena ketakutan, tetapi juga dalam situasi normal untuk menghindari kesulitan umatnya:
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Rasulullah –shallallahu ‘alayhi wa sallam– sholat Dzhuhur dan Ashar di Madinah secara jamak, bukan karena takut, dan juga bukan dalam perjalanan.” (HR Muslim).
Meta Description:
Judul SEO: Shalat Jamak dalam Situasi Bencana: Panduan Lengkap Berdasarkan Hadis Rasulullah SAW
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang