KOMPAS.com - Salah satu pertanyaan yang kerap muncul di tengah masyarakat muslim adalah tentang batasan gerakan dalam shalat.
Apakah benar bergerak tiga kali dapat membatalkan sholat?
Pertanyaan ini sering menimbulkan kebingungan karena adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama fikih.
Baca juga: Sahkah Sholat yang Dilakukan dengan Cepat? Simak Penjelasan Lengkapnya
Dilansir dari laman MUI, ulama dari empat mazhab utama dalam Islam – Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah – sepakat bahwa gerakan banyak dalam shalat yang dilakukan secara berturut-turut (al-tawali) dan bukan bagian dari gerakan shalat dapat membatalkan shalat.
Namun, perbedaan muncul dalam hal mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “gerakan banyak”.
Menurut mazhab Hanafiyah, setiap gerakan yang tidak termasuk dalam gerakan sholat dan tidak bertujuan menyempurnakan sholat, jika dilakukan secara berulang dan tampak mencolok, maka bisa membatalkan sholat.
Contoh gerakan tersebut adalah menambah ruku’ atau sujud tanpa alasan syar’i.
Gerakan disebut “banyak” apabila orang yang melihat tidak ragu bahwa orang tersebut tidak sedang dalam keadaan sholat.
Baca juga: Apakah Sah Sholat Tahajud Jika Tidak Tidur? Ini Penjelasan Ulama
Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa gerakan banyak membatalkan sholat, baik dilakukan sengaja maupun karena lupa.
Contohnya antara lain menggaruk tubuh berulang kali, menyela jenggot, atau membetulkan posisi sorban.
Namun, gerakan kecil seperti memberi isyarat atau menyentuh kulit secara ringan tidak membatalkan sholat.
Adapun gerakan dengan intensitas sedang, misalnya berpaling dari arah kiblat, akan membatalkan sholat jika disengaja.
Syafi’iyah memandang bahwa gerakan tiga kali atau lebih secara berturut-turut dapat membatalkan sholat, baik disengaja maupun tidak.
Batasan antara gerakan sedikit dan banyak ditentukan oleh ‘urf atau kebiasaan masyarakat.
Gerakan ringan seperti menggerakkan jari atau pelupuk mata tidak membatalkan sholat.
Namun, tiga gerakan atau lebih tanpa jeda (al-tawali) dianggap sebagai gerakan banyak dan bisa membatalkan shalat.
Baca juga: Kisah Dua Orang Masuk Surga Tanpa Sekalipun Mengerjakan Sholat
Hanabilah pada dasarnya sejalan dengan pendapat Syafi’iyah.
Hanya saja, mereka tidak memberikan batasan jumlah minimal tertentu, seperti tiga gerakan, untuk menentukan apakah suatu gerakan sudah dianggap banyak.
Mereka lebih menekankan pada intensitas dan kesinambungan gerakan.
Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggendong cucunya, Umamah binti Zainab, ketika sedang sholat.
Saat beliau sujud, Umamah diletakkan, dan saat berdiri, beliau kembali menggendongnya.
Hadis ini menjadi dalil bahwa gerakan tertentu dalam sholat tidak membatalkan sholat apabila dilakukan karena kebutuhan.
Dalam Fiqh Sunnah karya as-Sayyid Sabiq juga dijelaskan bahwa sholat adalah ibadah yang mencakup perbuatan dan ucapan khusus, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Gerakan di luar tata cara shalat hendaknya dihindari agar kekhusyukan tetap terjaga, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Mu’minun ayat 1–3 tentang pentingnya khusyuk dalam shalat.
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَۙ ١
qad aflaḫal-mu'minûn
Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin.
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ ٢
alladzîna hum fî shalâtihim khâsyi‘ûn
(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya,
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَۙ ٣
walladzîna hum ‘anil-laghwi mu‘ridlûn
orang-orang yang meninggalkan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,