KOMPAS.com - Di tengah tekanan Quraisy yang kian keras terhadap para pengikut Nabi Muhammad SAW, muncul sosok muda dari kalangan bangsawan Mekkah yang memilih jalan sunyi, beriman dan bertahan.
Ia adalah Khalid bin Said bin Al Ash, putra pemuka Bani Umayyah yang kekuasaannya disegani di Mekkah.
Keputusan Khalid untuk memeluk Islam bukanlah perkara ringan. Ia harus berhadapan dengan ayah kandungnya sendiri, Said bin Al Ash.
Seorang tokoh terpandang yang memusuhi dakwah Nabi. Namun keyakinan yang tumbuh dalam hati Khalid tak lagi dapat dibendung.
Baca juga: Kisah Umar Bin Khattab, Dari Penentang Menjadi Pembela Islam
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, awal perubahan Khalid bermula dari sebuah mimpi. Ia melihat dirinya berada di tepi jurang neraka, sementara Nabi Muhammad SAW menariknya menjauh dari kehancuran.
Mimpi itu mengguncang batinnya. Khalid pun mencari Rasulullah dan menyatakan keimanannya secara sembunyi-sembunyi.
Sejak saat itu, ia mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan beribadah secara diam-diam. Ia sadar, keislamannya akan menjadi ancaman bagi kehormatan keluarga besarnya, terutama sang ayah yang dikenal keras dan tak kompromistis terhadap ajaran baru.
Kekhawatiran Khalid terbukti. Ketika kabar keislamannya sampai ke telinga ayahnya, kemarahan pun meledak.
Said bin Al Ash memukul kepala dan tubuh Khalid dengan tongkat besar hingga darah mengalir.
Tak berhenti di situ, Khalid diikat dan dikurung di sebuah ruangan gelap selama tiga hari tanpa diberi makan dan minum.
Ancaman lain menyusul. Ayahnya bersumpah tidak akan memberi nafkah sepeser pun jika Khalid tetap mengikuti Muhammad.
Namun jawaban Khalid tegas dan tenang. Rezeki katanya adalah urusan Allah, bukan manusia. Keimanan telah memberinya keberanian yang tak pernah ia miliki sebelumnya.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Tekanan keluarga dan sosial tak membuat Khalid surut. Ia menolak kembali ke keyakinan lama, meski dihadapkan pada siksaan fisik dan pengucilan.
Bahkan ketika beberapa kerabat membujuknya agar berpura-pura kembali demi keselamatan diri, Khalid menolak. Baginya, iman bukan perkara yang bisa ditukar dengan rasa aman sementara.
Situasi makin memburuk ketika ayahnya memerintahkan agar Khalid dibuang ke padang pasir Mekkah, diikat dan dibiarkan di bawah terik matahari.
Dalam kondisi lemah dan hampir tak berdaya, Khalid tetap memuji Allah dan memohon keteguhan hati.
Ketika Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin berhijrah ke Habasyah, Khalid termasuk yang berangkat.
Ia meninggalkan kemewahan hidupnya sebagai bangsawan Quraisy dan memilih hidup sederhana sebagai muhajir.
Bertahun-tahun ia tinggal di negeri asing, setia memegang iman yang telah ia pilih dengan penuh risiko.
Khalid kemudian kembali dan turut berhijrah ke Madinah. Kehadirannya disambut Rasulullah SAW dengan kegembiraan.
Ia dikenal sebagai sosok yang lembut, jujur, dan teguh. Dalam berbagai peperangan, Khalid turut ambil bagian, bahkan salah satu saudaranya gugur sebagai syahid.
Baca juga: Perjuangan dan Bakti Tanpa Batas kepada Ibu, Kisah Uwais al-Qarni
Dalam sejarah Islam awal, Khalid bin Said Al Ash disebut sebagai salah satu dari orang-orang pertama yang memeluk Islam.
Ia meninggalkan status, harta, dan pengaruh keluarga demi keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kisah Khalid adalah potret tentang iman yang tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari keberanian melawan arus.
Ia mengajarkan bahwa keyakinan sejati sering kali menuntut harga mahal, namun justru di sanalah kemuliaan manusia diuji dan ditentukan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang