KOMPAS.com - Uwais al-Qarni adalah sosok yang namanya dikenal bukan karena kekayaan, ketenaran, atau kekuasaan, tetapi karena pencapaian spiritual dan baktinya yang luar biasa kepada ibunya.
Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan kisah luar biasa tentang ketulusan, perjuangan, dan pengorbanan seorang anak kepada ibunya, kisah yang terus hidup sebagai teladan bagi generasi kini.
Baca juga: Kisah Uwais Al Qarni: Memperoleh Derajat Tinggi karena Berbakti pada Ibu
Dikutip dari buku buku 99 Asmaul Husna Dan Kisah-Kisah yang Inspiratif karya MB Rahimsyah, Uwais al-Qarni lahir di Qarn, Yaman, dalam keluarga yang sederhana dan miskin.
Nama lengkapnya adalah Abu Amru Uwais bin Amir bin Jaza’ al-Qarni al-Muradi al-Yamani, seorang pemuda yang hidup bersama ibunya selepas ditinggal ayahnya sejak kecil.
Sehari-hari, Uwais hidup dari hasil pekerjaannya sebagai penggembala kambing dan penggembala domba, serta serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Kisah lain menyebutkan bahwa setiap rezeki yang berlebih bahkan kadang ia gunakan untuk membantu tetangga yang kekurangan, menggambarkan ia bukan hanya peduli kepada ibu, tetapi juga sesama.
Ibunya sendiri sudah lanjut usia, mengalami kelumpuhan dan kebutaan kondisi yang memaksa Uwais sepenuhnya menjadi penopang utama kehidupan rumah tangga mereka. Kondisi ini menjadi titik awal perjalanan spiritualnya yang akan menginspirasi generasi berikutnya.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Uwais dikenal memiliki kecintaan yang mendalam kepada Nabi Muhammad SAW. Begitu besar perasaan itu sampai dikisahkan bahwa ketika mendengar Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, Uwais ikut patah hati hingga memukul giginya sendiri sebagai bentuk empati.
Suatu ketika, Uwais mengungkapkan keinginannya untuk menemui Nabi SAW di Madinah dan memohon izin dari ibunya.
Ibunya pun mengizinkan dengan syarat agar ia segera pulang setelah bertemu. Ketika Uwais tiba di Madinah, ia mengetuk rumah Nabi tetapi yang menyambut adalah Aisyah RA.
Rasulullah sedang berada di medan perang dan Uwais akhirnya pulang menepati janji kepada ibunya.
Ketundukan terhadap amanah ibunya itulah yang membuat Rasulullah menyatakan bahwa derajat Uwais tinggi di sisi Allah dan ia dikenal di langit meskipun tak dikenal di bumi.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Suatu hari, sang ibu menyampaikan permintaan yang berat, ia ingin menunaikan ibadah haji sebelum ajal menjemputnya.
Permintaan itu bukan sekadar kata-kata biasa, tetapi menjadi panggilan bagi Uwais untuk menunjukkan kesungguhan dan keberanian mengatasi tantangan yang tampak mustahil demi kebahagiaan ibunya.
Tanpa biaya, tanpa kendaraan, bahkan tanpa kekuatan fisik yang luar biasa, Uwais tidak menyerah.
Ia membeli seekor anak sapi dan setiap hari menggendongnya menaiki bukit untuk menguatkan tubuhnya dalam persiapan menghadapi perjalanan jauh ke Mekkah.
Latihan itu tampak aneh di mata banyak orang, namun bagi Uwais itu adalah perjuangan tanpa kompromi demi memenuhi permintaan ibunya.
Ketika tubuhnya sudah kuat, Uwais memulai perjalanan panjang dari Yaman ke Mekkah sambil menggendong ibunya yang renta, menempuh ribuan kilometer melalui padang pasir yang terik dan medan yang menantang.
Perjalanan itu bukan sekadar fisik, melainkan juga simbol cinta dan pengorbanan tanpa batas seorang anak untuk ibu yang dicintainya.
Sesampainya di Tanah Suci, air mata haru sang ibu mengalir ketika melihat Ka’bah. Di hadapan bait suci itu, Uwais berdoa, “Ya Allah, ampunilah semua dosa ibu,” bukannya memohon untuk dirinya sendiri. Baginya, ridha sang ibu adalah lebih berharga daripada segalanya, bahkan mencapai surga.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Kisah pengorbanan Uwais tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga mendapat penghormatan dari Nabi Muhammad SAW. Meskipun Uwais hidup sezaman dengan Nabi, ia tidak pernah bertemu langsung karena harus menjaga ibunya.
Saat Rasulullah mengatakan tentang Uwais kepada para sahabat, itu bukan sekadar pengakuan biasa, beliau menyatakan bahwa Uwais adalah penghuni langit, seorang yang derajatnya tinggi di sisi Allah karena ketaatan dan baktinya kepada ibunya.
Pengorbanan Uwais yang sederhana namun monumental itu terus dikenang bukan sebagai legenda semata, tetapi sebagai refleksi nilai kemanusiaan yang abadi, bahwa kasih sayang dan bakti kepada orang tua, terutama ibu adalah pilar moral tertinggi dalam kehidupan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang