KOMPAS.com - Nama Zaid bin Haritsah mungkin tidak selalu muncul di barisan depan ketika sejarah Islam dijelaskan secara singkat.
Namun dari kisah hidupnya, pembaca dapat melihat wajah Islam yang paling manusiawi tentang kehilangan, kasih sayang, pilihan sadar, dan pengorbanan hati yang lahir dari kebebasan.
Perjalanan hidupnya adalah salah satu kisah yang membuktikan bahwa keteguhan iman dan kesetiaan bukan ditentukan oleh darah, tetapi oleh pilihan hati yang tulus.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Zaid lahir sebagai putra Haritsah bin Syurahbil dan Su’da binti Tsalabah dari suku Kalb di Jazirah Arab.
Ketika masih kecil, ia ikut ibunya mengunjungi keluarga di luar Makkah. Namun perjalanan itu berakhir tragis ketika sebuah penyerangan antarkabilah membuat Zaid diculik dan dibawa pergi sebagai tawanan.
Dalam kekacauan, ia dipisahkan dari ibunya dan dijual di pasar Ukaz sebagai budak, tanpa tahu apakah ia akan pernah kembali kepada keluarganya.
Kisah kehilangan itu menjadi luka yang tak kunjung sembuh bagi Haritsah. Ia berkeliling mencari kabar tentang anaknya, bertanya kepada setiap kafilah yang ditemuinya dalam putus asa dan harapan yang terus bersemi.
Namun di saat yang sama, takdir membawa Zaid ke Makkah, jauh dari keluarganya yang terus mencari.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Dikutip dari buku 65 Orang Shahabat Rasuullah SAW karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, Zaid dijual di pasar budak, lalu dibeli oleh Hakim bin Hizam dan kemudian diberikan kepada Khadijah binti Khuwailid.
Dari tangan Khadijah, Zaid diserahkan kepada Muhammad bin Abdullah yang memperlakukannya bukan sebagai barang kepemilikan, tetapi sebagai manusia, menunjukkan rasa aman dan perhatian yang tulus.
Muhammad memerdekakan Zaid dan kemudian mengangkatnya sebagai anak angkatnya sendiri.
Di rumah Nabi, Zaid tumbuh tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan tanpa rasa terasing. Ia diperkenalkan pada kehidupan yang penuh kasih sayang dan akhlak mulia yang kelak menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan spiritualnya. Dalam lingkungan itu, Zaid menempa karakter yang kuat, loyal, dan penuh integritas.
Tahun-tahun berlalu hingga Haritsah akhirnya menemukan jejak anaknya. Bersama saudara Zaid, ia mendatangi Makkah dengan membawa harta untuk menebus Zaid.
Mereka menghadap Muhammad bin Abdullah dan memohon agar Zaid dikembalikan kepada keluarganya.
Muhammad tidak menutup pintu permintaan itu. Ia justru mengambil jalan yang jarang ditempuh, memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih.
Kembali kepada keluarga darahnya atau tetap tinggal bersama Nabi. Pilihan Zaid membuat semua terdiam.
Ia memilih tinggal bersama Muhammad bukan karena paksaan atau rasa takut, tetapi karena ia menemukan ketenangan dan kemuliaan hidup yang tidak ia rasakan sebelumnya. Di hadapan ayah kandungnya sendiri, Zaid menyatakan keputusannya dengan mantap.
Untuk meredakan kesedihan Haritsah, Muhammad membawa Zaid ke Ka’bah dan mengumumkan di hadapan kaum Quraisy bahwa Zaid adalah anaknya.
Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Zaid bin Muhammad dan hidup sebagai bagian dari keluarga Nabi.
Namun ketika Islam datang membawa aturan tentang nasab, Zaid kembali dipanggil dengan nama ayah kandungnya, Zaid bin Haritsah, sebuah tindakan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebenaran ditegakkan tanpa mengurangi nilai cinta atau kedekatan batin.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Zaid tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya dekat dengan Nabi secara emosional, tetapi juga secara tugas dan tanggung jawab.
Ia menjadi salah satu sahabat yang paling setia, mengikuti Nabi dalam hijrah ke Madinah, berkembang sebagai pemimpin, dan aktif dalam berbagai pertempuran Islam.
Zaid juga dikenal sebagai prajurit pemberani yang kerap berada di garis depan, termasuk menjadi tameng bagi Nabi dalam Perang Uhud.
Dalam Perang Mu’tah yang terjadi pada tahun 8 H (629 M), Rasulullah menunjuk Zaid sebagai panglima pertama pasukan Muslim untuk menghadapi pasukan besar lawan.
Zaid memimpin dengan penuh keberanian dan berjuang hingga akhir hayatnya. Ia gugur sebagai syahid di medan perang, mempertahankan bendera pasukan hingga nyawanya terenggut.
Kabar wafat itu membuat Rasulullah duka mendalam. Beliau mendatangi keluarga Zaid dan menangis, sebuah kesedihan yang lahir dari kehilangan orang yang dicintai sepenuh hati.
Baca juga: Kisah Unik Nabi Idris AS: Nabi Pertama yang Mengajarkan Tulisan dan Peradaban
Zaid bin Haritsah menjadi satu-satunya sahabat Nabi yang namanya disebut secara langsung dalam Al-Qur’an, yakni dalam Surah Al-Ahzab ayat 37, ketika kisahnya dengan nasab, anak angkat, dan perubahan hukum nasab dibahas dalam konteks etika dan syariat.
Kisah Zaid mengingatkan kita bahwa iman tidak selalu dibangun oleh kemenangan besar, tetapi kerap tumbuh dari putusan-putusan sunyi, ketika seseorang memilih bertahan pada kebenaran meski pilihan itu tak selalu dimengerti dunia.
Kesetiaannya kepada Nabi, pilihan bebasnya untuk tinggal bersama figur yang ia hormati, dan pengorbanannya di medan perang adalah warisan yang terus hidup sebagai teladan kesetiaan, keberanian, dan kemuliaan yang lahir dari ketulusan hati.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang