Editor
KOMPAS.com — Para pemangku pesantren di Mlangi yang tergabung dalam Yayasan Nur Iman (YNI) Mlangi merilis Risalah Mlangi sebagai ikhtiar menjaga keutuhan, marwah, dan ruh perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) di tengah dinamika dan konflik yang mengemuka di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Yayasan Nur Iman (YNI) Mlangi Muhammad Mustafid kepada Kompas.com, Minggu (21/12/2025), menjelsakan, risalah yang ditandatangani konsorsium 11 pesantren tersebut disepakati dalam kajian dan musyawarah para kiai di Mlangi, Sleman, pada 19 Desember 2025.
Dokumen itu menegaskan pentingnya keikhlasan seluruh pemangku kepentingan NU—mulai dari mustasyar, syuriyah, tanfidziyah, hingga ahlul hidmah—untuk duduk bersama membuka ruang resolusi bersama secara bermartabat.
Baca juga: Mubes Warga NU Serukan Percepat Muktamar dan Tolak Konsesi Tambang
“Mustasyar, syuriyah, dan tanfidziyah adalah satu kesatuan khidmah. Tidak ada yang lebih tinggi untuk merasa paling benar, dan tidak ada yang lebih rendah untuk disisihkan,” demikian ditegaskan dalam risalah tersebut.
Para kiai Mlangi menilai perbedaan pandangan dan ijtihad merupakan keniscayaan dalam organisasi besar seperti NU. Namun, perbedaan itu harus dikelola dalam bingkai adab, tawadhu, dan musyawarah, bukan melalui saling menafikan atau membuka aib jam’iyyah di ruang publik, termasuk melalui media sosial.
Dalam risalahnya, YNI Mlangi menilai eskalasi konflik di PBNU saat ini tidak lagi bertumpu pada persoalan substantif seperti visi jam’iyyah atau kemaslahatan umat.
Konflik justru bergeser menjadi pertarungan tafsir kewenangan, legalisme AD/ART, Perkum, dan narasi keabsahan yang saling meniadakan.
“Musyawarah-mufakat kehilangan wibawanya sebagai ruang hikmah. Yang muncul justru pembenaran posisi masing-masing,” tulis risalah tersebut.
Situasi kian rumit karena absennya mediator yang netral dan dipercaya bersama, minimnya transparansi, serta masuknya kepentingan politik dan ekonomi eksternal.
Jika dibiarkan, PBNU dinilai berisiko menjauh dari karakter dasarnya sebagai ruang keteladanan dan pemersatu umat.
Risalah Mlangi mengidentifikasi tiga akar masalah utama yang dinilai membuat konflik PBNU sulit diselesaikan secara tuntas.
Pertama, persoalan konsesi tambang yang dinilai telah menggeser orientasi jam’iyyah dari khidmah sosial-keagamaan ke wilayah ekonomi-politik yang sarat kepentingan. Isu tambang disebut memicu polarisasi, kecurigaan, serta menjauhkan NU dari khittahnya sebagai kekuatan masyarakat sipil.
Kedua, kebuntuan konstitusional dalam relasi syuriyah dan tanfidziyah, terutama terkait batas kewenangan dan mekanisme pemberhentian pengurus hasil muktamar.
Kebuntuan ini diperparah oleh tata kelola keuangan PBNU yang dinilai lemah, tidak transparan, dan minim akuntabilitas, termasuk dalam pengelolaan dana strategis dan kerja sama eksternal.
Ketiga, keberadaan Majelis Tahkim yang mandat dan daya ikatnya dinilai tidak jelas serta tidak dirancang untuk menyelesaikan konflik di level PBNU, sehingga justru menambah krisis tata kelola dan otoritas.
Sebagai jalan keluar, Risalah Mlangi menawarkan lima solusi sistemik. Di antaranya, mengembalikan konsesi tambang dan menggantinya dengan fasilitasi ekonomi hijau dan biru yang dinilai lebih selaras dengan nilai pesantren dan keadilan ekologis.
Selain itu, risalah tersebut mendorong perumusan ulang tata kelola organisasi yang demokratis dan berintegritas dengan menegaskan supremasi syuriyah, pembentukan Majelis Tahkim independen, perbaikan tata kelola keuangan yang transparan dan diaudit secara terbuka, serta transformasi digital PBNU yang substantif dan berbasis akuntabilitas.
Solusi lain yang ditekankan adalah penegasan kembali NU sebagai bagian dari masyarakat sipil sesuai Khittah 1926, dengan menjaga jarak yang maslahat dari kekuasaan serta menguatkan peran NU sebagai penyangga demokrasi dan pembela kaum mustadh‘afin.
Para kiai Mlangi juga mengusulkan pembentukan badan penjaminan mutu organisasi yang diisi akademisi dan profesional untuk melakukan evaluasi kinerja internal secara objektif.
Risalah Mlangi menegaskan bahwa seluruh solusi tersebut hanya dapat dijalankan jika didahului kesepakatan bersama antara mustasyar, syuriyah, dan tanfidziyah untuk menyelesaikan perbedaan secara bermartabat melalui muktamar.
Tanpa kesepakatan tersebut, keputusan apa pun dikhawatirkan hanya melahirkan konflik baru. Risalah itu bahkan menyebut kemungkinan pengorbanan moral para pimpinan puncak PBNU dengan tidak maju kembali pada muktamar mendatang demi memudahkan tercapainya mufakat.
“Tanpa itu, yang lahir hanya demokrasi lonjong, bukan bulat,” tulis risalah tersebut, mengutip istilah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid.
Baca juga: PWNU Jawa Timur Tegaskan Tidak Berpihak dalam Polemik PBNU, Pilih Jaga Persatuan NU
Risalah Mlangi ditutup dengan doa agar Allah SWT membersihkan hati seluruh elemen NU dari ego dan ghurur, serta menjaga Nahdlatul Ulama dalam keberkahan dan persatuan.
Risalah tersebut dikeluarkan oleh Yayasan Nur Iman (YNI) Mlangi dengan ketua Prof Dr KH Tamyiz Mukharrom MA dan Sekretaris Muhammad Mustafid SFil.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang