Editor
KOMPAS.com — Forum Bahtsul Masail Pesantren (FBMP) Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan bahwa Lembaga Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Ketua Umum PBNU di luar mekanisme Muktamar atau Muktamar Luar Biasa (MLB).
Penegasan tersebut merupakan hasil Bahtsul Masail Waqi’iyyah yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi, Sleman, pada 18 Desember 2025.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (20/12/2025), FBMP DIY menyatakan bahwa baik secara syar’i maupun organisatoris berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama, pemakzulan Ketua Umum PBNU bukan merupakan kewenangan Syuriyah.
Baca juga: PBNU Tegaskan Gus Yahya Tetap Sah Ketua Umum, Moratorium Digdaya Dinyatakan Batal
Dalam keputusan resminya, FBMP DIY menegaskan bahwa Ketua Umum dan Rais Aam PBNU merupakan mandataris Muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi jam’iyyah.
Karena itu, pemberhentian salah satu di antaranya tidak dapat dilakukan secara sepihak di luar mekanisme yang telah ditetapkan organisasi.
Bahtsul Masail tersebut digelar sebagai respons atas dinamika internal PBNU yang muncul akibat perbedaan pandangan antara Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf terkait kebijakan strategis kaderisasi, khususnya program Akademi Nasional Nahdlatul Ulama (AKN-NU).
Perbedaan pandangan itu kemudian berkembang menjadi konflik kepemimpinan yang berdampak pada stabilitas organisasi.
FBMP DIY menilai, langkah sebagian unsur Syuriyah yang mengarah pada wacana pemberhentian Ketua Umum PBNU merupakan tasharruf fudhuli atau tindakan tanpa kewenangan.
Oleh karena itu, langkah tersebut dinilai tidak sah, baik secara fiqh siyasah maupun berdasarkan ketentuan AD/ART NU.
Forum juga menegaskan bahwa AD/ART merupakan kesepakatan organisasi yang bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh seluruh struktur jam’iyyah Nahdlatul Ulama tanpa kecuali.
Selain persoalan kewenangan, FBMP DIY menilai bahwa pemakzulan pemimpin jam’iyyah tidak dapat dibenarkan apabila tidak memenuhi prinsip keadilan prosedural.
Prinsip tersebut antara lain meliputi adanya bukti yang kuat (bayyinah qath’iyyah), kesempatan tabayyun dan klarifikasi, serta proses verifikasi oleh ahlul khubrah. Bukti yang bersifat dugaan dinilai tidak cukup untuk dijadikan dasar pemakzulan.
Dalam rekomendasinya, FBMP DIY menyampaikan tiga poin utama. Pertama, seluruh pihak di lingkungan NU diminta untuk tunduk dan patuh terhadap dawuh serta arahan para Mustasyar dan kiai sepuh PBNU.
Baca juga: Rais Aam PBNU Resmikan Markaz Turats Ulama Kudus, Tersimpan Naskah Berusia 275 Tahun
Kedua, FBMP DIY mengajak PCNU, PCINU, dan PWNU di seluruh Indonesia untuk mendesak PBNU agar segera menyelenggarakan Muktamar sebagai jalan islah yang konstitusional.
Ketiga, proses islah tersebut ditegaskan tidak perlu melibatkan pihak eksternal demi menjaga marwah serta keutuhan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang