KOMPAS.com - Perang Salib kerap dipahami sebagai konflik agama antara Islam dan Kristen dalam perebutan Kota Suci Yerusalem.
Namun catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum perang besar itu meletus pada akhir abad ke-11, Yerusalem justru pernah mengalami periode panjang kehidupan antarumat beragama yang relatif damai di bawah pemerintahan Islam sebelum Perang Salib meletus.
Ketika pasukan Islam memasuki Yerusalem pada 637 Masehi, penaklukan berlangsung tanpa pembantaian.
Khalifah Umar bin Khattab menerima penyerahan kota dari Patriark Kristen Sophronius melalui sebuah perjanjian damai yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Umar atau al-‘Uhdah al-Umariyah.
Baca juga: Kisah Perang Uhud: Kekalahan Umat Islam atas Pasukan Kaum Musyrikin
Isi perjanjian tersebut menjamin kebebasan beribadah bagi umat Kristen dan Yahudi, perlindungan terhadap gereja dan tempat suci, serta keamanan jiwa dan harta penduduk.
Dalam perjanjian itu pula ditegaskan bahwa umat Kristen tidak akan dipaksa memeluk Islam. Mereka tetap diperbolehkan mengelola gereja, menjalankan ritual keagamaan, dan hidup berdampingan dengan umat Islam.
Sebagai imbalannya, penduduk non-Muslim membayar jizyah sebagai kewajiban administratif negara, bukan sebagai bentuk diskriminasi agama.
Dikutip dari buku Perang Salib Timur dan Barat karya Sevy Kusdianita, kebijakan ini berlangsung konsisten selama berabad-abad.
Di bawah Kekhalifahan Umayah dan Abbasiyah, Yerusalem berkembang sebagai kota multiagama.
Baca juga: Kisah Usamah bin Zaid: Panglima Perang Termuda dalam Sejarah Islam
Peziarah Kristen dari Eropa masih dapat mengunjungi Gereja Makam Kudus, sementara komunitas Yahudi kembali memperoleh ruang hidup setelah lama terpinggirkan pada masa Bizantium.
Kondisi tersebut bertahan hingga akhir abad ke-10. Ketegangan mulai meningkat ketika Yerusalem berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Fatimiyah.
Pada 1009 Masehi, Khalifah al-Hakim bi-Amrillah mengeluarkan kebijakan represif terhadap komunitas Kristen dan Yahudi, termasuk perusakan Gereja Makam Kudus.
Peristiwa ini menjadi salah satu faktor yang memicu kemarahan dunia Kristen di Eropa.
Meski demikian, para sejarawan menilai Perang Salib tidak semata dipicu oleh persoalan agama.
Faktor geopolitik dan militer turut berperan besar, terutama setelah Kekaisaran Bizantium terdesak oleh ekspansi Turki Seljuk di wilayah Anatolia.
Kekalahan Bizantium dalam Pertempuran Manzikert pada 1071 membuat Kaisar Alexios I meminta bantuan Paus Urbanus II.
Baca juga: Kisah Perang Badar, Perang Besar Pertama Umat Islam
Permintaan tersebut berujung pada seruan Perang Salib dalam Konsili Clermont pada 1095. Paus Urbanus II mengajak kerajaan-kerajaan Kristen Eropa mengangkat senjata dengan tujuan membantu Bizantium sekaligus merebut Yerusalem.
Agama menjadi simbol pemersatu, tetapi kepentingan politik dan kekuasaan tidak terpisahkan dari perang tersebut.
Ironisnya, ketika pasukan Salib berhasil menguasai Yerusalem pada 1099, kota itu justru mengalami pembantaian besar-besaran.
Catatan sejarah menyebut ribuan Muslim dan Yahudi dibunuh, sementara tempat ibadah dirusak. Situasi ini kontras dengan penyerahan Yerusalem kepada Islam pada abad ke-7 yang berlangsung tanpa kekerasan.
Sejarah kembali mencatat pendekatan berbeda saat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi merebut Yerusalem pada 1187.
Ia memberikan jaminan keselamatan bagi penduduk Kristen, mengizinkan mereka beribadah, dan melindungi situs-situs suci. Kebijakan ini mempertegas bahwa praktik toleransi lintas iman pernah menjadi bagian nyata dari pemerintahan Islam.
Membaca ulang Perang Salib dari sudut toleransi membuka ruang refleksi yang lebih jernih. Konflik panjang itu tidak hanya menyimpan kisah permusuhan, tetapi juga pelajaran tentang bagaimana nilai keadilan, perlindungan minoritas, dan hidup berdampingan pernah menjadi praktik nyata dalam sejarah Islam.
Di tengah dunia modern yang masih diwarnai ketegangan antaridentitas agama, kisah-kisah toleransi dari masa lalu ini menjadi pengingat bahwa perdamaian bukanlah utopia. Ia pernah hidup, dipraktikkan, dan meninggalkan jejak yang patut dirawat bersama.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang