Editor
KOMPAS.com-Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tsunami, atau erupsi gunung berapi adalah peristiwa yang berada di luar kendali manusia. Namun, bagi seorang Muslim, musibah bukan sekadar kejadian alam biasa.
Musibah merupakan tanda kebesaran Allah SWT serta peringatan agar manusia kembali merenung dan mengingat-Nya.
Peristiwa-peristiwa alam ini mengingatkan kita bahwa tidak ada yang terjadi tanpa izin Allah.
Segala sesuatu di alam semesta ini sudah diatur oleh Allah SWT, sesuai dengan kehendak dan hikmah-Nya.
Baca juga: 7 Pelajaran Berharga di Balik Bencana Banjir di Sumatera Menurut Islam
Dilansir dari laman MUI, keyakinan pertama yang perlu ditanamkan adalah bahwa setiap kejadian berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ
“Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.” (QS Al-An‘am: 59)
Ayat ini menegaskan bahwa semua hal yang tampak maupun yang tersembunyi berada di tangan Allah.
Seorang mukmin harus meyakini bahwa setiap musibah mengandung hikmah besar yang Allah kehendaki demi kebaikan hamba-Nya.
Baca juga: PBNU Gerakkan Satu Juta Keluarga NU untuk Bantu Korban Bencana di Sumatera
Oleh karena itu, ketika terjadi bencana seperti gempa atau banjir, kita perlu memahaminya sebagai peringatan lembut dari Allah untuk memperbaiki diri.
Musibah adalah panggilan untuk memperbanyak istighfar, menata hati, dan meningkatkan ketakwaan.
Dari sinilah kita mulai mengambil hikmah serta kewajiban yang harus dilakukan, di antaranya adalah:
Saat musibah datang, baik itu gempa, banjir, atau bencana lainnya, seorang mukmin harus semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauh.
Musibah seharusnya menjadi momen untuk melembutkan hati, menyadarkan diri, dan kembali kepada-Nya dengan penuh ketundukan. Namun, seringkali manusia lalai; bencana datang, tetapi hati tetap keras dan tidak kembali kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلٰكِنْ قَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطٰنُ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Namun mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan menjadikan indah apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS Al-An’am: 43)
Baca juga: Khutbah Jumat Singkat: Pelajaran Berharga Dari Bencana Banjir di Sumatera
Ketika melihat orang lain tertimpa musibah, seorang mukmin diajarkan untuk memuji Allah karena telah diselamatkan dari ujian tersebut.
Syukur seperti ini bukan untuk merendahkan orang yang terkena musibah, melainkan sebagai bentuk pengakuan bahwa keselamatan adalah semata-mata karunia Allah, bukan karena kekuatan kita sendiri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam Sunan Tirmidzi bahwa siapa yang melihat orang lain tertimpa musibah lalu memuji Allah karena ia diselamatkan, maka Allah akan menjaganya dari musibah tersebut.
Setiap bencana yang terjadi adalah peringatan agar manusia tidak merasa aman dari murka Allah SWT.
Rasa takut yang benar (khauf) adalah sifat mulia yang membuat seorang mukmin menjaga diri dari dosa, berhati-hati dalam perbuatan, serta menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah atas alam semesta.
Allah menegaskan dalam ayat-ayat-Nya seperti QS Al-Isra: 59, Al-A’raf: 97–98, dan Al-Mulk: 16–18 bahwa berbagai bencana dan kejadian menakutkan adalah peringatan bagi manusia agar mereka tidak lalai.
Baca juga: Ketua Umum PP Muhammadiyah Instruksikan Infak Jumat Dialihkan untuk Korban Bencana
Musibah sering kali menjadi pengingat bahwa dosa-dosa manusia memiliki konsekuensi. Namun, dalam waktu yang sama, Allah membuka pintu rahmat-Nya dan mengajak manusia untuk kembali bertaubat.
Tobat merupakan jalan utama untuk menghilangkan sebab-sebab yang mendatangkan murka Allah dan membuka pertolongan-Nya.
Allah menegaskan dalam QS Asy-Syura: 30 bahwa musibah terjadi akibat perbuatan manusia, namun Allah juga memaafkan sebagian besar kesalahan tersebut.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura: 30)
Dalam QS Al-Anfal: 33, Allah menjelaskan bahwa suatu kaum tidak akan diazab selama mereka tetap memohon ampun kepada-Nya.
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS Al-Anfal: 33)
Ulama seperti Qatadah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnul Qayyim menyatakan bahwa bencana besar adalah ajakan agar manusia bertobat dan meninggalkan dosa.
Dengan memahami hikmah-hikmah ini, seorang mukmin tidak hanya melihat bencana sebagai sebuah ketakutan, tetapi sebagai momentum untuk mendekat kepada Allah dan memperbaiki diri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang