Editor
KOMPAS.com – Walimatul Urs atau resepsi pernikahan merupakan praktik yang sangat dianjurkan (sunnah) dalam Islam.
Lebih dari sekadar perayaan, walimah ternyata memiliki peran penting sebagai sarana untuk memperkuat kepekaan sosial dan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam di tengah masyarakat.
Lalu, bagaimana walimah pernikahan dapat menjadi bukti nyata penguatan sinergi sosial, dan apa dalil yang mendasarinya?
Baca juga: Boiyen Pesek Akad Nikah Ulang: Pelajaran Penting Tentang Ijab Kabul dalam Pernikahan
Dilansir dari laman Kemenag, jumhur ulama sepakat bahwa hukum mengadakan walimah setelah akad nikah adalah sunnah Muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan.
Tujuan utama pelaksanaan resepsi pernikahan mencakup tiga hal fundamental:
Baca juga: Biar Sah di Mata Agama dan Negara, Ini Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Islam
Fakta bahwa walimah merupakan sarana penguatan kepekaan sosial terlihat jelas dari riwayat-riwayat di masa Rasulullah SAW.
Para sahabat pada masa itu saling bergotong royong untuk membantu pihak yang mengadakan walimah (shahibul walimah).
Kisah ini diriwayatkan dalam Hadits Shahih Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas bin Malik RA, terkait pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Shafiyah setelah Perang Khaibar.
Saat mengadakan walimah, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menyumbangkan makanan apa pun yang mereka miliki:
“Siapa saja dari kalian yang memiliki sesuatu hendaklah dia bawa kemari.”
Anas RA menceritakan, para sahabat kemudian berdatangan membawa bahan makanan seperti kurma, susu kering (aqith), dan minyak samin. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi hidangan (Hais) yang disajikan sebagai jamuan walimah Rasulullah SAW.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits ini menjadi dalil anjuran bagi tetangga atau teman pengantin untuk membantu menyelenggarakan walimah, khususnya melalui sumbangan makanan.
Baca juga: 34,6 Juta Pernikahan Tidak Tercatat, Kemenag Dorong Anak Muda Catat Nikah Resmi
Dukungan sosial serupa terlihat pada pernikahan Ali bin Abi Thalib RA dan Fatimah binti Rasulullah SAW.
Imam ath-Thabarani meriwayatkan, setelah menikahkan putrinya, Nabi SAW bersabda, “Wahai Ali, dalam pernikahan dianjurkan ada resepsi.”
Merespons anjuran tersebut, Sa’ad bin Muadz langsung berkata: “Saya punya kambing.” Sementara itu, sekelompok sahabat Anshar lain mengumpulkan beberapa karung biji jagung.
Menurut ahli hadits seperti Imam al-Haitsami (w. 807 H) dan Imam Ibnu Hajar (w. 852 H), riwayat ini memiliki sanad yang sahih atau setidaknya hasan, sehingga dapat dijadikan hujah (argumen).
Baca juga: Fenomena Marriage is Scary, Angka Pernikahan Terus Menurun
Dua hadits sahih di atas membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW, walimah adalah momentum untuk berkumpul, bersilaturahim, dan meningkatkan rasa kekeluargaan melalui gotong royong materiil dan non-materiil.
Fenomena ini masih terlihat jelas di masyarakat modern, di mana tetangga, teman, dan kerabat berbondong-bondong membantu keluarga pengantin dalam menyukseskan resepsi, menegaskan bahwa walimah bukan hanya perayaan, tetapi juga pilar penting penguatan persatuan umat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang