KOMPAS.com - Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang kisah hidupnya sarat hikmah dan inspirasi.
Ia termasuk Assabiqunal Awwalun, golongan awal yang masuk Islam dan menjadi salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Perjalanan Sa’ad tidaklah mudah, penuh ujian, keteguhan iman, keberanian di medan perang, dan keberkahan doa yang mustajab.
Sa’ad bin Abi Waqqas memeluk Islam pada usia yang masih sangat muda, sekitar 17 tahun. Ia termasuk kelompok awal yang menerima dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah.
Keislamannya bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan lahir dari pencarian batin yang dalam dan keyakinan terhadap kebenaran risalah tauhid.
Keputusan itu membuat Sa’ad berada di barisan terdepan umat Islam pada masa-masa paling sulit. Saat jumlah Muslim masih sedikit dan tekanan Quraisy kian keras, Sa’ad memilih bertahan, meski harus membayar mahal secara sosial dan emosional.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Ujian terberat Sa’ad datang dari rumahnya sendiri. Ibunya menentang keras keislamannya. Ia bersumpah tidak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya.
Bagi seorang anak, tekanan ini bukan sekadar ancaman, melainkan pergulatan batin yang menyakitkan.
Namun Sa’ad tidak memilih jalan ekstrem. Ia tetap berbakti, bersikap lembut, dan menunjukkan kasih sayang kepada ibunya. Di saat yang sama, ia menyampaikan ketegasan iman.
Sa’ad menyatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan Islam, meskipun ibunya memiliki seratus nyawa sekalipun.
Sikap ini kemudian dikenang sebagai contoh keseimbangan antara tauhid dan bakti. Islam tidak mengajarkan pemutusan hubungan keluarga, tetapi juga tidak membenarkan pengorbanan akidah demi tekanan emosional.
Baca juga: Kisah Cinta Al-Fatih Penakluk Konstantinopel, Antara Pernikahan Politik dan Pengabdian pada Islam
Dikutip dari kitab Kitab Ashabu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri, selain dikenal teguh dalam iman, Sa’ad juga dikenal sebagai pemanah ulung.
Sejarah mencatatnya sebagai orang pertama yang melesatkan panah di jalan Allah. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah ekspedisi awal, sebelum perang besar meletus, ketika kaum Muslimin diserang dan Sa’ad memberikan perlindungan dengan panahnya.
Kemahirannya kembali terlihat dalam Perang Uhud. Saat itu, Nabi Muhammad SAW memberi Sa’ad panah sambil berkata, “Lemparkanlah, Sa’ad. Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.” Ucapan ini menjadi salah satu bentuk penghormatan tertinggi Rasulullah kepada seorang sahabat.
Keistimewaan Sa’ad bin Abi Waqqas tidak berhenti pada keberanian fisik. Ia juga dikenal sebagai sahabat yang doanya mustajab. Rasulullah SAW pernah memohon kepada Allah agar doa Sa’ad dikabulkan setiap kali ia berdoa.
Namun Sa’ad tidak menggunakan keistimewaan itu dengan sembarangan. Ia menjaga lisannya, berhati-hati dalam meminta, dan tidak menjadikan doa sebagai alat pelampiasan emosi.
Dalam berbagai peristiwa, doanya dikabulkan Allah sebagai bentuk keadilan, bukan balas dendam.
Para ulama menilai, kemustajaban doa Sa’ad lahir dari kombinasi iman yang lurus, adab yang terjaga, serta kehidupan yang bersih dari kepentingan duniawi berlebihan.
Baca juga: Kisah Nabi Nuh AS, Ketaatan di Tengah Ejekan dan Penolakan
Keteguhan iman, bakti kepada ibu, keberanian di medan juang, dan ketulusan doa menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqas termasuk dalam Asharah Mubasyarah, sepuluh sahabat yang secara langsung diberi kabar gembira oleh Nabi Muhammad SAW sebagai penghuni surga.
Meski memiliki keutamaan besar, Sa’ad dikenal rendah hati dan menjauh dari ambisi kekuasaan. Ia lebih memilih hidup sederhana dan menjaga integritas iman hingga akhir hayatnya.
Kisah Sa’ad bin Abi Waqqas tidak hanya berbicara tentang masa lalu. Ia menghadirkan pelajaran tentang bagaimana iman diuji di ruang paling personal yaitu keluarga dan bagaimana keteguhan dapat berjalan beriringan dengan kasih.
Dari Sa’ad, umat Islam belajar bahwa keberanian bukan hanya soal perang, tetapi juga tentang mempertahankan keyakinan dengan adab. Bahwa doa yang dikabulkan bukan semata soal kata-kata, melainkan buah dari hidup yang dijalani dengan kejujuran dan kesabaran.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang