KOMPAS.com - Nabi Nuh AS dikenal sebagai rasul pertama yang diutus kepada manusia ketika penyembahan berhala mulai menguasai kehidupan.
Dalam Kisah Para Nabi, disebutkan bahwa Nabi Nuh datang membawa seruan sederhana namun mendasar, kembali menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala-berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.
Ironisnya, berhala-berhala tersebut awalnya berasal dari nama orang-orang saleh yang kemudian diagungkan secara berlebihan hingga disembah.
Dakwah Nabi Nuh AS berlangsung sangat panjang. Al-Qur’an menyebut beliau menyeru kaumnya selama 950 tahun.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمْ ظَٰلِمُون
Wa laqad arsalnā nụḥan ilā qaumihī fa labiṡa fīhim alfa sanatin illā khamsīna 'āmā, fa akhażahumuṭ-ṭụfānu wa hum ẓālimụn
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
Baca juga: Kisah Unik Nabi Idris AS: Nabi Pertama yang Mengajarkan Tulisan dan Peradaban
Siang dan malam, secara terbuka maupun diam-diam, ajakan itu terus disampaikan. Namun, yang beriman hanyalah sedikit.
Sebuah kenyataan pahit bagi seorang rasul yang telah mengerahkan seluruh kesabaran dan keteguhan hati.
Penolakan kaumnya bukan penolakan biasa. Nabi Nuh AS dicemooh, dilecehkan, dan dianggap sesat. Para pemuka masyarakat memandang rendah dirinya karena ia hanyalah manusia biasa, bahkan pengikutnya berasal dari kalangan yang dianggap lemah dan hina.
Ukuran kebenaran pun dipelintir, bukan pada pesan yang dibawa, melainkan pada status sosial dan jumlah pengikut. Pola seperti ini terasa akrab di zaman sekarang, ketika suara kebenaran sering kalah oleh popularitas dan kuasa.
Baca juga: Kisah Nabi Musa AS Menurut Al Quran yang Penuh Hikmah
Ketika penolakan kian mengeras dan tidak ada lagi harapan perubahan, Nabi Nuh AS memohon keputusan Allah.
Wahyu pun turun, tidak akan ada lagi yang beriman selain mereka yang telah beriman. Nabi Nuh diperintahkan membangun sebuah bahtera besar di bawah pengawasan dan petunjuk Allah. Sebuah perintah yang, secara logika manusia tampak mustahil.
Proses pembuatan bahtera tersebut tentu memakan waktu yang sangat lama. Ada riwayat yang menyebut Nabi Nuh menanam pohon terlebih dahulu, menunggu puluhan bahkan ratusan tahun hingga kayunya siap digunakan.
Kapal itu dibuat besar dan bertingkat, bagian bawah untuk hewan, bagian tengah untuk manusia, dan bagian atas untuk burung.
Selama proses tersebut, ejekan tak pernah berhenti. Kaumnya menertawakan Nabi Nuh yang membangun kapal di daratan kering, jauh dari laut.
Namun Nabi Nuh AS tidak berhenti. Ia tetap melaksanakan perintah Allah dengan penuh keyakinan. Hingga saat yang telah ditentukan tiba, tanda azab pun muncul, air memancar dari tanur.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Langit menurunkan hujan deras tanpa henti, sementara bumi memancarkan mata air dari berbagai penjuru. Air bertemu air, menciptakan banjir bandang yang menenggelamkan segala yang ingkar.
Di tengah gelombang yang menjulang seperti gunung, bahtera Nabi Nuh berlayar membawa orang-orang beriman dan makhluk hidup yang telah ditentukan.
Namun, kisah ini menyimpan satu episode paling menyayat yaitu, penolakan anak Nabi Nuh sendiri. Ketika dipanggil dengan penuh kasih untuk naik ke bahtera, sang anak menolak.
Ia merasa mampu menyelamatkan diri dengan berlindung di gunung yang tinggi. Keyakinan pada kekuatan diri ternyata berujung petaka. Gelombang besar memisahkan keduanya dan sang anak pun tenggelam.
Peristiwa ini menegaskan pesan penting Al-Qur’an, keselamatan tidak ditentukan oleh hubungan darah, melainkan oleh iman dan amal.
Nabi Nuh AS pun menyadari keterbatasannya sebagai manusia dan memohon ampun kepada Allah. Sebuah pelajaran tentang ketundukan dan penerimaan terhadap keputusan Ilahi.
Setelah banjir surut dan bahtera berlabuh di Gunung Judy, Nabi Nuh dan para pengikutnya turun dengan keselamatan dan keberkahan.
Dari keturunan Nabi Nuh Sam, Ham, dan Yafits, umat manusia berkembang hingga hari ini. Menjelang akhir hayatnya, Nabi Nuh AS meninggalkan wasiat penting, berpegang teguh pada tauhid, memperbanyak tasbih, serta menjauhi syirik dan kesombongan.
Kisah Nabi Nuh AS adalah cermin bagi zaman apa pun. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu ramai, bahwa kesetiaan pada nilai sering kali sunyi dan berat.
Namun, di tengah ejekan dan penolakan, ketaatan tetap menemukan jalannya. Sebab pada akhirnya, keselamatan bukan ditentukan oleh banyaknya pengikut, melainkan oleh keteguhan iman di hadapan Allah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang