KOMPAS.com - Dalam sejarah para nabi, kisah Nabi Hud AS hadir sebagai pengingat tentang sebuah peradaban besar yang runtuh bukan karena kekurangan, melainkan karena kesombongan.
Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad, sebuah bangsa Arab purba yang dikenal memiliki tubuh kuat, bangunan tinggi, dan wilayah kekuasaan luas.
Mereka tinggal di kawasan antara Yaman, Oman, dan Hadramaut, hidup di daerah berbukit dengan kemah-kemah bertiang besar.
Al-Qur’an menyebut mereka sebagai kaum Iram, pemilik bangunan-bangunan menjulang yang belum pernah ditandingi pada masanya.
Namun, di balik kekuatan fisik dan kejayaan itu, kaum ‘Ad terjerumus dalam penyembahan berhala. Mereka menyembah berhala-berhala seperti Shuda, Shamuda, dan Al-Haba.
Di tengah kondisi itulah Allah mengutus Nabi Hud AS seorang dari kalangan mereka sendiri untuk mengajak kembali kepada tauhid untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan kemusyrikan.
Baca juga: Kisah Nabi Musa AS Menurut Al Quran yang Penuh Hikmah
Seruan Nabi Hud AS sebenarnya sangat sederhana. “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia,” demikian pesan utama yang berulang kali disampaikannya.
Namun ajakan ini justru disambut dengan ejekan. Para pemuka kaum ‘Ad menilai Nabi Hud sebagai manusia biasa yang tidak pantas membawa risalah langit. Bahkan mereka menuduh Nabi Hud kurang akal dan pendusta.
Penolakan itu tidak berhenti pada penyangkalan. Kaum ‘Ad menuntut bukti fisik dan mengancam akan tetap setia pada ajaran nenek moyang mereka.
Nabi Hud AS menjawab dengan tegas namun tenang. Ia menyatakan untuk berlepas diri dari berhala-berhala yang mereka sembah dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah.
Sebuah sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran tidak membutuhkan kekerasan, tetapi keyakinan.
Dikutip dari buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir (2014), kaum ‘Ad dikenal sangat membanggakan kekuatan mereka. Tubuh yang tinggi, fisik yang kokoh, serta kemampuan membangun menjadi sumber kesombongan.
Mereka berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?”.
فَأَمَّا عَادٌ فَٱسْتَكْبَرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَقَالُوا۟ مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۖ أَوَلَمْ يَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِى خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا يَجْحَدُونَ
Fa ammā 'ādun fastakbarụ fil-arḍi bigairil-ḥaqqi wa qālụ man asyaddu minnā quwwah, a wa lam yarau annallāhallażī khalaqahum huwa asyaddu min-hum quwwah, wa kānụ bi'āyātinā yaj-ḥadụn
Artinya: Adapun kaum 'Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: "Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?" Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.
Mereka lupa bahwa kekuatan itu adalah pemberian Allah, bukan hasil kehebatan mereka sendiri.
Kesombongan inilah yang membuat nasihat Nabi Hud AS tak lagi didengar. Berbagai peringatan dianggap angin lalu.
Bahkan ketika Nabi Hud mengingatkan akan azab Allah jika mereka terus membangkang, kaum ‘Ad justru menantangnya untuk segera mendatangkan azab itu.
Baca juga: Kisah Unik Nabi Idris AS: Nabi Pertama yang Mengajarkan Tulisan dan Peradaban
Ketika kekeringan panjang melanda negeri mereka selama tiga tahun dan hujan tak kunjung turun, kaum ‘Ad akhirnya memohon pertolongan.
Sekelompok utusan dikirim ke Baitullah untuk meminta hujan. Allah kemudian memperlihatkan tiga macam awan, putih, merah, dan hitam. Kaum ‘Ad memilih awan hitam, mengira di sanalah terkandung air paling banyak.
Ketika awan hitam itu bergerak menuju lembah-lembah mereka, kaum ‘Ad bergembira. “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami,” kata mereka. Namun Al-Qur’an menegaskan, itulah azab yang mereka minta disegerakan: angin yang mengandung siksaan pedih.
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُّسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا۟ هَٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا ۚ بَلْ هُوَ مَا ٱسْتَعْجَلْتُم بِهِۦ ۖ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ
Fa lammā ra'auhu 'āriḍam mustaqbila audiyatihim qālụ hāżā 'āriḍum mumṭirunā, bal huwa masta'jaltum bih, rīḥun fīhā 'ażābun alīm
Artinya: Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.
Baca juga: Kisah Uwais Al Qarni: Memperoleh Derajat Tinggi karena Berbakti pada Ibu
Alih-alih hujan yang datang, melainkan angin sangat kencang dan sangat dingin. Angin itu bertiup selama tujuh malam dan delapan hari berturut-turut, menghancurkan apa pun yang dilewatinya.
Kaum ‘Ad dikejar angin ke mana pun mereka berlindung, ke rumah, istana, bahkan gua di pegunungan. Semuanya sia-sia.
Al-Qur’an menggambarkan tubuh mereka bergelimpangan seperti batang kurma yang lapuk. Tidak tersisa satu pun dari mereka, kecuali Nabi Hud AS dan orang-orang yang beriman bersamanya. Kekuatan yang dulu dibanggakan runtuh dalam sekejap di hadapan kekuasaan Allah.
Kisah Nabi Hud AS adalah pelajaran tentang batas kekuatan manusia. Bahwa kejayaan tanpa iman hanya akan melahirkan kesombongan.
Bahwa kebenaran sering kali datang dari suara yang sederhana dan ditertawakan. Dan bahwa azab Allah bisa datang melalui sesuatu yang tampak biasa, seperti awan dan angin.
Di zaman sekarang, ketika manusia kembali membanggakan teknologi, kekuasaan, dan pencapaian, kisah ini terasa relevan. Ia mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukan pada apa yang dibangun manusia, melainkan pada kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang