KOMPAS.com - Kisah Nabi Shaleh AS adalah salah satu cerita para nabi yang terekam jelas dalam Al-Qur’an dan sumber-sumber riwayat Islam.
Ia diutus kepada kaum Tsamud, sebuah masyarakat yang pernah hidup dalam kemakmuran dan kekuatan, namun mengabaikan panggilan kebenaran hingga azab menimpa mereka.
Perjalanan hidup Nabi Shaleh AS adalah pelajaran tentang ketaatan, kesombongan, dan hikmah yang tak lekang oleh waktu.
Dikutip dari buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, Nabi Shaleh AS adalah seorang nabi yang berasal dari bangsa Tsamud dan keturunan Nabi Nuh AS.
Ia merupakan putra dari Ubaid bin Jabir bin Tsamud, sementara kaum Tsamud sendiri dinamakan dari nama kakek mereka, Tsamud bin Air.
Hidup mereka berada di wilayah antara Hijaz dan Syam, di daerah yang dikenal sebagai Al-Hijr atau Madain Shaleh, sebuah dataran yang kaya dengan sumber daya alam dan dikelilingi oleh batu karang megah.
Kaum Tsamud dikenal mahir dalam membentuk bangunan dari batu besar dan menikmati kehidupan yang sejahtera.
Tanah subur, binatang ternak, dan hasil panen yang melimpah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Namun di balik kemewahan itu, mereka menyimpang dari ajaran tauhid dan menyembah berhala, sebuah tradisi yang dipegang turun-temurun oleh leluhur mereka.
Baca juga: Kisah Nabi Nuh AS, Ketaatan di Tengah Ejekan dan Penolakan
Sama seperti nabi-nabi sebelum dan sesudahnya, Nabi Shaleh AS diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki umat yang telah jauh dari jalan yang benar.
Meski berasal dari kalangan mereka sendiri, Shaleh AS memiliki watak yang baik, dihormati, dan dikenal cerdas oleh kaumnya.
Dakwahnya bukan berasal dari ambisi pribadi, tetapi amanat Ilahi untuk mengajak mereka kembali kepada Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan berhala.
Dengan tegas ia menyampaikan kepada kaum Tsamud bahwa Allah Yang Maha Pencipta adalah satu-satunya Tuhan yang pantas disembah.
Ia mengingatkan masyarakat tentang nikmat yang telah diberikan tanah yang subur, binatang ternak, dan kehidupan sejahtera, semuanya sebagai bukti kasih sayang Allah yang harus disyukuri, bukan disalahgunakan.
Namun ajakan itu ditolak oleh mayoritas kaumnya, terutama oleh mereka yang sombong dan berkuasa.
Mereka menganggap seruan Shaleh AS sebagai ancaman terhadap tradisi lama serta kekuasaan para pemuka yang mapan. Banyak di antara mereka menentang, mencemooh, bahkan meremehkan dakwahnya.
Baca juga: Kisah Nabi Hud AS: Azab Orang Sombong dan Awal Kehancuran Kaum ‘Ad
Permintaan akan bukti kebenaran kenabian Shaleh AS datang dari kaum Tsamud yang skeptis. Mereka menuntut agar Shaleh menunjukkan suatu tanda luar biasa yang tak mungkin dilakukan oleh manusia biasa.
Atas izin Allah, dari sebuah batu karang besar tampaklah seekor unta betina, mukjizat yang hadir secara ajaib di tengah mereka.
Unta itu bukan semata-mata hewan biasa. Nabi Shaleh AS memberi aturan jelas bahwa unta tersebut harus dibiarkan hidup secara bebas di tanah Allah, ia berhak makan dan minum secara bergiliran dari sumber air yang tersedia, tanpa diganggu.
Unta itu menjadi tanda nyata dari kekuasaan Allah SWT dan ujian bagi kaum Tsamud tentang kepatuhan mereka kepada Tuhan.
Sayangnya, tantangan yang Allah berikan tidak dimaknai sebagai panggilan untuk bertaubat. Sebaliknya, sebagian kaum Tsamud mencari cara untuk menghilangkan mukjizat itu dan membuktikan bahwa mereka tidak takut pada ancaman azab.
Persekongkolan terjadi dan unta betina yang menjadi mukjizat itu dibunuh secara kejam, meskipun Nabi Shaleh AS telah memperingatkan konsekuensinya.
Shaleh AS kemudian memperingatkan kaumnya bahwa azab Allah akan segera datang jika mereka tidak menyadari kesalahan dan bertaubat dalam waktu yang ditentukan.
Namun, kesombongan dan penolakan mereka justru semakin dalam, bahkan mereka mengejek peringatan itu dan meremehkannya.
Baca juga: Kisah Nabi Musa AS Menurut Al Quran yang Penuh Hikmah
Tiga hari setelah unta mukjizat Nabi Shaleh AS dibunuh, azab Allah mulai menimpa Kaum Tsamud.
Tanda-tanda hukuman itu muncul secara bertahap. Pada hari pertama, wajah mereka menguning ketika terbangun dari tidur.
Hari berikutnya, warna wajah tersebut berubah menjadi kemerahan, lalu pada hari selanjutnya menghitam, sebagai isyarat bahwa siksa semakin dekat.
Ketika waktu yang dijanjikan tiba, azab Allah pun benar-benar diturunkan. Sebelumnya, Nabi Shaleh AS bersama para pengikutnya telah meninggalkan wilayah Kaum Tsamud sebagai bentuk perlindungan atas perintah Allah.
Namun, alih-alih mengambil pelajaran, peringatan Nabi Shaleh justru memicu kemarahan kaumnya hingga mereka merencanakan pembunuhan terhadap sang nabi.
Dengan izin Allah, rencana itu tidak pernah terwujud. Saat mereka hendak melancarkan niat jahat tersebut, petir dahsyat menyambar, disertai gempa bumi yang mengguncang hebat.
Batu-batu besar pun berjatuhan menimpa mereka, menghancurkan Kaum Tsamud secara menyeluruh.
Meski detail bentuk azab ini digambarkan berbeda dalam berbagai riwayat, semuanya menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas makhluk-Nya serta konsekuensi berat bagi mereka yang terus menolak kebenaran setelah menerima tanda-tanda yang jelas.
Kisah Nabi Shaleh AS menjadi pengingat bahwa kemewahan hidup dan kekuatan materi tidak pernah menjamin keselamatan ruhani.
Ia menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan kunci sejati kebahagiaan yang abadi, sekaligus menekankan prinsip mendasar dalam Islam bahwa para rasul diutus bukan untuk mengumpulkan harta atau kekuasaan, melainkan untuk membimbing manusia menuju jalan kebenaran.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang