KOMPAS.com - Alquran menyebut kisah Nabi Yusuf sebagai ahsan al-qashash, kisah yang terbaik.
Predikat ini bukan sekadar pujian estetis, melainkan penegasan bahwa di dalam kisah Yusuf tersimpan rangkaian ujian manusia paling kompleks, kecemburuan keluarga, kekuasaan, seksualitas, kesendirian, dan pilihan moral.
Kisah ini dibuka bukan oleh pedang atau kerajaan, melainkan oleh mimpi seorang anak muda.
Baca juga: Abu Jahal: Musuh Nabi yang Sadar Kebenaran, tapi Menolaknya
Dikutip dari buku Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al-Quran karya Eko Prasetyo, Yusuf adalah putra Nabi Yaqub a.s., seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang ayahnya.
Suatu malam, ia didatangi mimpi yang luar biasa. Sebelas bintang, matahari, dan bulan tampak bersujud kepadanya.
Dengan kepolosan seorang anak, mimpi itu ia ceritakan kepada sang ayah. Alquran mengabadikannya dalam QS Yusuf ayat 4.
Nabi Yaqub memahami bahwa mimpi itu adalah isyarat besar tentang masa depan Yusuf. Namun, alih-alih bersukacita, Yaqub justru memberi peringatan, jangan ceritakan mimpi itu kepada saudara-saudaramu. Ia tahu, mimpi besar sering kali membangunkan dengki.
Baca juga: Kisah Nabi Ayub AS, Ujian Panjang dan Doa Penuh Keyakinan
Keluarga Yaqub terdiri dari dua belas anak. Yusuf dan Benyamin berada di satu sisi, sementara sepuluh saudara lain merasa tersisih oleh perhatian ayah mereka.
Rasa tidak adil itu berubah menjadi kecemburuan yang terorganisasi. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana kedengkian itu dirundingkan secara sadar.
Ada yang mengusulkan pembunuhan, ada pula yang memilih jalan “lebih ringan”: membuang Yusuf ke dalam sumur agar lenyap dari kehidupan keluarga.
Keputusan itu menandai retaknya sebuah keluarga nabi. Konflik tidak datang dari orang asing, tetapi dari saudara sendiri. Kisah Yusuf sejak awal menunjukkan bahwa luka terdalam sering lahir dari relasi paling dekat.
Baca juga: Doa dan Kesabaran Nabi Ishaq Menjaga Warisan Iman
Dengan bujukan dan janji perlindungan, sepuluh saudara itu akhirnya berhasil membawa Yusuf pergi.
Di tempat sunyi, ia dijatuhkan ke dalam sumur. Seorang anak muda ditinggalkan dalam kegelapan, tanpa kepastian hidup.
Al-Qur’an tidak merinci jeritan atau tangis Yusuf, tetapi justru di situlah kekuatannya. Pembaca diajak merenung tentang kesendirian yang paling langka, dikhianati oleh darah daging sendiri.
Sumur itu menjadi simbol keterasingan awal Yusuf. Sebelum menjadi penguasa Mesir, ia harus lebih dulu belajar menjadi manusia yang sendirian.
Baca juga: Doa dan Kesabaran Nabi Ishaq Menjaga Warisan Iman
Tak lama kemudian, rombongan musafir menemukan Yusuf. Teriakan “kabar gembira” justru menandai tragedi baru.
Yusuf disembunyikan sebagai barang dagangan dan dijual dengan harga murah, beberapa dirham saja. Ia tidak dinilai sebagai manusia, melainkan komoditas.
Perdagangan budak yang dialami Yusuf menunjukkan bahwa eksploitasi manusia adalah luka lama peradaban. Yusuf mengalami semua itu dalam usia belia, sekitar 14 tahun menurut sebagian tafsir.
Yusuf dibeli oleh seorang pejabat Mesir dan dibawa ke rumah megah. Ia tumbuh dewasa di lingkungan istana, berperadaban maju, penuh kemewahan.
Ketampanannya mekar sempurna, disertai akhlak yang kuat. Justru di titik inilah ujian iman menjadi paling berbahaya.
Zulaikha, istri sang pejabat, jatuh cinta. Nafsu dan kekuasaan menyatu. Yusuf berada dalam posisi yang sangat rentan.
Namun Al-Qur’an menegaskan bahwa Yusuf melihat “bukti Tuhannya”. Ia memilih menolak dan lari. Keteguhan iman mengalahkan dorongan naluri.
Baca juga: Teguran Allah SWT kepada Nabi Musa AS Berujung Dipermalukan Nabi Khidir
Penolakan Yusuf berujung pada fitnah. Zulaikha menuduh Yusuf menggoda dirinya. Namun bukti sobekan baju membongkar kebenaran.
Aib keluarga hendak ditutup, tetapi gosip menyebar. Zulaikha kemudian mengundang para perempuan elite untuk menunjukkan siapa Yusuf sebenarnya.
Ketika Yusuf muncul, para perempuan itu terpesona hingga melukai jari mereka sendiri. Al-Qur’an menggambarkan adegan ini dengan puitis dalam QS Yusuf ayat 31.
Yusuf menjadi pusat kekaguman. Ia memiliki pesona yang bisa menggerakkan massa. Namun Yusuf tidak memanfaatkan daya tarik itu untuk kepentingan duniawi.
Lingkungan istana menjadi semakin berbahaya. Yusuf menyadari bahwa popularitas dan pujian bisa meruntuhkan iman secara perlahan.
Maka ia mengambil pilihan yang tampak ekstrem yaitu penjara. Ia memilih keterasingan yang terhormat daripada kebebasan yang menyesatkan.
Penjara bagi Yusuf bukan hukuman, melainkan benteng moral. Ia tidak berlagak suci, tidak melawan dengan kekerasan, dan tidak memanfaatkan kekuatannya. Ia hanya ingin selamatkan jiwanya.
Kisah Yusuf menegaskan pesan penting, di mana ketampanan bukanlah nilai utama. Keindahan tubuh tidak untuk dipamerkan, apalagi dijadikan alat tawar-menawar.
Yusuf menunjukkan bahwa akhlaklah yang memberi makna pada anugerah fisik. Ia tampan, tetapi lebih dari itu, ia berani memilih jalan sunyi demi menjaga integritas.
Dari sumur ke pasar budak, dari istana ke penjara, Yusuf ditempa menjadi manusia yang utuh. Kisah ini mengingatkan kita bahwa masa depan besar sering dimulai dari keterasingan panjang.
Dunia saat ini yang gemar merayakan popularitas instan, seolah merindukan lahirnya Yusuf-Yusuf muda, kuat, bersih, dan teguh menjaga nilai, bahkan ketika seluruh dunia mengajaknya untuk menyerah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang