KOMPAS.com - Nama Nabi Syu’aib AS tercatat dalam Alquran sebagai rasul yang diutus kepada bangsa Madyan.
Allah berfirman,
وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ ٨٥
wa ilâ madyana akhâhum syu‘aibâ, qâla yâ qaumi‘budullâha mâ lakum min ilâhin ghairuh, qad jâ'atkum bayyinatum mir rabbikum fa auful-kaila wal mîzâna wa lâ tabkhasun-nâsa asy-yâ'ahum wa lâ tufsidû fil-ardli ba‘da ishlâḫihâ, dzâlikum khairul lakum ing kuntum mu'minîn
Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman.” (QS. Al-A’raf: 85).
Baca juga: Doa dan Kesabaran Nabi Ishaq Menjaga Warisan Iman
Ia datang membawa pesan tauhid dan keadilan sosial kepada sebuah masyarakat yang telah lama terjerumus dalam kesesatan akidah dan kerusakan moral.
Bangsa Madyan tinggal di wilayah pinggiran Syam, dekat Hijaz, tidak lama setelah kebinasaan kaum Nabi Luth.
Mereka dikenal sebagai komunitas yang makmur secara ekonomi, tetapi rapuh secara etika. Kekayaan tidak membuat mereka bersyukur, justru melahirkan keserakahan yang merusak tatanan sosial.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman AS: Pemimpin Bijak dengan Karunia Besar
Dikutip dari buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, secara akidah, bangsa Madyan menyembah berhala berupa pohon lebat yang disebut Aikah. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai kaum yang zalim. Namun penyimpangan mereka tidak berhenti pada keyakinan.
Dalam kehidupan sosial, mereka dikenal sebagai pembegal yang menakut-nakuti musafir. Dalam perdagangan, mereka melakukan kecurangan sistematis, menuntut takaran lebih ketika membeli dan mengurangi timbangan ketika menjual. Praktik ini telah menjadi budaya, bukan lagi penyimpangan individual.
Di tengah kondisi inilah Allah mengutus Nabi Syu’aib, seorang dari kalangan mereka sendiri, agar peringatan itu datang dari sosok yang mereka kenal dan pahami.
Dakwah Nabi Syu’aib tidak hanya menekankan penyembahan kepada Allah, tetapi juga kejujuran dalam muamalah.
Dalam QS. Al-A’raf ayat 85–86, ia menyeru kaumnya agar menyempurnakan takaran dan timbangan, tidak merugikan orang lain, serta berhenti membuat kerusakan di muka bumi.
Sebagian ulama salaf menjuluki Nabi Syu’aib sebagai Khatibul Anbiya, khatib para nabi, karena kefasihan bahasa dan kekuatan argumentasinya. Dakwahnya lugas, rasional, dan menyentuh akar persoalan sosial kaumnya.
Namun, seruan itu justru disambut dengan ejekan. Kaumnya mempertanyakan relevansi ibadah Syu’aib dengan urusan ekonomi mereka.
Dalam QS. Hud ayat 87, mereka berkata sinis, seolah agama tidak berhak mengatur harta dan perdagangan.
Baca juga: Kisah Nabi Ayub AS, Ujian Panjang dan Doa Penuh Keyakinan
Nabi Syu’aib menjawab ejekan itu dengan keteguhan dan kelembutan. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak ingin menyalahi apa yang ia larang, dan tujuan dakwahnya semata-mata adalah perbaikan selama ia mampu.
Ia juga mengingatkan kaumnya tentang azab yang pernah menimpa umat-umat terdahulu—kaum Nuh, Hud, Shaleh, dan Luth, seraya tetap membuka pintu taubat.
Namun, peringatan itu justru dibalas dengan ancaman fisik. Kaumnya menyebut Syu’aib sebagai orang lemah dan mengancam akan merajamnya jika bukan karena perlindungan keluarganya.
Ancaman pun meningkat. Para pemuka Madyan menyatakan akan mengusir Syu’aib dan para pengikutnya jika tidak kembali kepada agama mereka. Bagi Syu’aib, kembali kepada kekufuran setelah mengenal iman adalah kemustahilan.
Ketika seluruh pintu dakwah tertutup, Nabi Syu’aib menyerahkan perkara itu kepada Allah. Ia berdoa agar Allah memberi keputusan yang adil antara dirinya dan kaumnya.
Tak lama kemudian, azab Allah datang dalam berbagai bentuk. Tafsir klasik menjelaskan bahwa azab itu diawali dengan hawa panas ekstrem selama beberapa hari.
Ketika mereka keluar mencari perlindungan, muncul awan gelap yang mereka kira membawa kesejukan. Namun dari sanalah turun hujan api, gempa dahsyat, dan suara keras yang mengguntur.
Al-Qur’an menyebut peristiwa itu sebagai “azab pada hari yang besar” (QS. Asy-Syu’ara: 189). Mereka binasa bergelimpangan di rumah-rumah mereka.
Baca juga: Kisah Nabi Shaleh AS: Unta Betina Awal Kehancuran Kaum Tsamud
Di tengah kehancuran itu, Allah menyelamatkan Nabi Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya sebagai rahmat-Nya.
Tidak ada kegembiraan atas kebinasaan kaumnya, tetapi juga tidak ada penyesalan. Semua peringatan telah disampaikan.
Kisah Nabi Syu’aib menjadi pengingat bahwa kerusakan sosial yang dibiarkan dan dibenarkan bersama-sama akan berujung pada kehancuran kolektif.
Keimanan, dalam kisah ini, tidak bisa dipisahkan dari kejujuran dan keadilan. Tanpa itu, kemakmuran hanya menunggu waktu untuk runtuh.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang