Editor
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Ulama Aceh mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk menetapkan status darurat nasional bagi bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Penetapan ini diharapkan dapat membuka akses bantuan internasional.
"Ulama Aceh sepakat meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai darurat bencana nasional," kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Senin (23/10/2025).
Pernyataan ini disampaikan berdasarkan rekomendasi hasil muzakarah ulama Aceh 2025, yang juga diwarnai dengan doa bersama untuk korban bencana banjir dan tanah longsor di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Baca juga: Kemenag Lelang Helm Band Wali untuk Donasi Korban Bencana Sumatera
Tgk Faisal menegaskan bahwa penetapan status darurat nasional sangat penting untuk mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka akses bantuan kemanusiaan internasional secara terkoordinasi dan akuntabel.
Selain itu, ulama Aceh juga mendorong Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk menyusun peta jalan pembangunan Aceh pascabencana yang terintegrasi.
Peta jalan ini diharapkan berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.
Para ulama juga meminta pemerintah daerah untuk melakukan revisi anggaran guna menyesuaikan kebutuhan penanganan banjir dan longsor.
Pemerintah pusat diharapkan memberikan perhatian serius melalui dukungan anggaran serta langkah strategis jangka pendek dan panjang yang objektif dan proporsional sesuai tingkat kedaruratan.
Dalam rekomendasi lainnya, ulama menekankan pentingnya transparansi dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang berkontribusi terhadap terjadinya bencana.
Tgk Faisal juga mengimbau masyarakat Aceh untuk terus memperkuat solidaritas sosial, menjaga etika bermedia dan bersosial di tengah musibah, serta menghindari fitnah dan provokasi.
Ia menegaskan bahwa penyerahan kepada pemerintah pusat bukan berarti putus asa atau tidak bekerja.
"Melainkan bentuk pengakuan bahwa dalam kondisi tertentu, bencana yang besar tidak mampu ditangani sendiri daerah, sehingga membutuhkan kehadiran dan bantuan dari pusat," ujar Tgk Faisal.
Ia mencontohkan situasi di lapangan saat bencana terjadi, di mana derasnya air bercampur batu dan material lainnya membuat masyarakat tidak dapat saling membantu.
"Dalam kondisi seperti itu, wajar jika pemerintah daerah meminta bantuan lebih besar dari pemerintah pusat," tambahnya.
Ulama yang akrab disapa Lem Faisal ini mengingatkan bahwa masyarakat Aceh telah berulang kali ditimpa musibah yang dahsyat.
Namun, di setiap cobaan itu, Allah SWT menganugerahkan ketabahan dan kekuatan batin kepada rakyat Aceh untuk tetap berdiri tegak menghadapi situasi tersulit sekalipun.
Baca juga: Kiai Kampung Desak Pemerintah Libatkan Swasta Bersihkan Kayu Gelondongan di Lokasi Bencana
Ia menegaskan, para ulama di Aceh tidak akan pernah meninggalkan masyarakatnya.
"Dalam setiap bencana, ulama hadir bukan hanya sebagai penyeru doa, tetapi juga penguat jiwa, penuntun moral, dan pengikat solidaritas," kata Tgk Faisal.
"Ulama akan terus bersama masyarakat dan pemerintah Aceh, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, untuk membantu masyarakat dalam menghadapi musibah,” tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang