KOMPAS.com - Sultan Muhammad Al-Fatih dikenal luas dalam sejarah sebagai penguasa yang membawa Kekaisaran Utsmaniyah meraih puncak kejayaan dengan penaklukan Konstantinopel pada 1453.
Di balik reputasinya sebagai pemimpin militer dan negarawan, kehidupan pribadinya yang melibatkan pernikahan dan hubungan keluarga sesungguhnya mencerminkan dinamika politik serta tanggung jawab sebagai pemimpin, bukan sekadar kisah percintaan dalam pengertian modern.
Ahli sejarah mencatat bahwa Mehmed II memiliki beberapa istri dan konsort sepanjang hidupnya, yang perannya dalam catatan sejarah lebih bersifat politik dan dinasti daripada romansa pribadi.
Di antara mereka terdapat Emine Gülbahar Hatun, Gülşah Hatun, Sittişah Hatun, Çiçek Hatun, dan Hatice Hatun, yang sebagian besar memiliki hubungan dengan aliansi kekuasaan atau garis keturunan putra-putra sang sultan.
Sultan Muhammad Al Fatih atau Mehmed II dalam lukisan yang dibuat Gentile Bellini pada 1480.Emine Gülbahar Hatun sering disebut sebagai perempuan paling berpengaruh dalam kehidupan Al-Fatih karena ia adalah ibu dari Sultan Bayezid II, penerus takhta Utsmaniyah.
Sejumlah sejarawan, termasuk Franz Babinger dalam Mehmed the Conqueror and His Time, menyebut Gülbahar Hatun berasal dari Balkan (Albania) dan masuk ke lingkungan istana sebagai selir sebelum kemudian memperoleh kedudukan tinggi.
Hubungan Al-Fatih dan Gülbahar Hatun tidak banyak disingkap dari sisi emosional, tetapi kuat dalam dimensi dinasti dan keibuan.
Keberadaan Bayezid sebagai calon pewaris menjadikan Gülbahar Hatun figur penting, meski setelah wafatnya Al-Fatih, posisinya lebih banyak tercatat dalam konteks sebagai valide daripada pasangan romantis.
Cinta dalam relasi ini lebih tercermin sebagai kepercayaan politik dan tanggung jawab terhadap keturunan, bukan narasi asmara.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Gülşah Hatun dikenal sebagai ibu dari Şehzade Mustafa, putra Al-Fatih yang wafat di usia muda. Setelah wafatnya sang putra, Gülşah Hatun memilih hidup relatif terasing di Bursa hingga akhir hayatnya.
Tidak terdapat indikasi kuat bahwa pernikahan ini dibangun atas relasi emosional mendalam. Justru kisah Gülşah Hatun sering dipahami sebagai potret tragedi istana, ketika posisi seorang istri sangat ditentukan oleh nasib putranya.
Hubungan ini menunjukkan sisi kelam kehidupan istana Utsmaniyah, di mana cinta personal kerap dikalahkan oleh logika kekuasaan dan pewarisan takhta.
Sittişah Hatun adalah contoh paling jelas dari pernikahan politik murni. Ia merupakan putri dari penguasa Dulkadir, sebuah wilayah strategis di Anatolia timur.Pernikahan ini terjadi ketika Mehmed masih muda dan bertujuan memperkuat aliansi regional.
Banyak sumber, termasuk Babinger, menyebut pernikahan ini tidak berlangsung harmonis. Sittişah Hatun bahkan meninggalkan istana dan kembali ke wilayah asalnya, sebuah indikasi kuat bahwa tidak terdapat ikatan emosional yang mendalam.
Dalam konteks ini, “cinta” hampir sepenuhnya nihil, digantikan oleh kalkulasi geopolitik. Pernikahan ini juga tidak menghasilkan keturunan, sehingga secara politik pun kehilangan signifikansinya.
Baca juga: Kisah Salman Al Farisi: Perjalanan Mencari Kebenaran
Çiçek Hatun adalah ibu dari Şehzade Cem, tokoh sentral dalam konflik perebutan takhta setelah wafatnya Al-Fatih.
Hubungan Al-Fatih dan Çiçek Hatun kembali menegaskan bahwa posisi seorang istri di istana sangat ditentukan oleh masa depan putranya.
Meski tidak ada catatan tentang kisah cinta personal di antara keduanya, hubungan ini berdampak besar secara historis.
Konflik antara Cem dan Bayezid II menunjukkan bahwa relasi pernikahan Al-Fatih lebih berkonsekuensi politik jangka panjang daripada emosional.
Çiçek Hatun sendiri kemudian hidup dalam bayang-bayang konflik putranya yang berakhir tragis di pengasingan Eropa.
Hatice Hatun disebut sebagai putri Zaganos Pasya, salah satu jenderal kepercayaan Al-Fatih. Pernikahan ini memperlihatkan pola khas Utsmaniyah mengikat elite militer melalui relasi keluarga. Hubungan ini lebih bersifat institusional, memperkuat loyalitas pejabat tinggi terhadap sultan.
Tidak terdapat sumber yang menunjukkan dimensi romantis dalam pernikahan ini. Bahkan sebagian sejarawan menyebut pernikahan tersebut tidak berlangsung lama.
Hal ini kembali menegaskan bahwa pernikahan Al-Fatih bukan ruang ekspresi cinta personal, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan.
Dikutip dari buku Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger dan biografi akademik Mehmed II menegaskan bahwa pernikahan-pernikahan ini lebih dilatarbelakangi oleh strategi politik, aliansi kekuasaan, dan pembentukan garis keturunan yang stabil bagi dinasti Utsmaniyah, daripada kisah cinta romantis yang dipahami secara kontemporer.
Baca juga: Kisah Uwais Al Qarni: Memperoleh Derajat Tinggi karena Berbakti pada Ibu
Para sejarawan juga menegaskan bahwa motivasi utama Al-Fatih bukanlah romansa pribadi, melainkan cinta yang mendalam kepada Allah SWT dan komitmen terhadap umat Islam.
Pembentukan visinya tentang penaklukan Konstantinopel sangat dipengaruhi oleh catatan-catatan hadis Nabi Muhammad SAW yang memotivasi beliau sejak muda untuk meraih kota suci itu sebagai bagian dari tugas keagamaan dan sejarah umat Islam.
Tugas tersebut ia emban bukan semata demi ambisi pribadi, tetapi dalam kerangka memperluas perlindungan dan kejayaan Islam di dunia.
Selain itu, cinta Sultan Muhammad Al-Fatih juga tercermin dalam komitmennya memajukan Kekaisaran Utsmaniyah dari memperkuat struktur administratif, mendukung ilmu pengetahuan, hingga membangun kehidupan sosial ekonomi yang stabil bagi rakyatnya.
Ia dikenal gemar berdiskusi dengan para ulama dan cendekiawan serta menempatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian penting dari pembangunan peradaban Utsmaniyah.
Hubungan keluarga dengan ayahnya, Sultan Murad II, juga menunjukkan bagaimana tanggung jawab dan kasih sayang membentuk karakter sang sultan sejak muda, termasuk ketika ia diangkat menjadi gubernur di beberapa provinsi, pengalaman yang turut mengasah kepemimpinannya.
Dengan demikian, kehidupan pribadi Sultan Muhammad Al-Fatih tidak bisa disederhanakan sebagai kisah cinta romantis seperti dalam drama kontemporer.
Pernikahan perdananya maupun hubungan-hubungan berikutnya lebih mencerminkan realitas politik dan dinasti pada era itu.
Sementara itu, cinta yang paling dominan dalam kehidupan Al-Fatih adalah kepada Tuhan, umat, dan cita-cita besar dalam memperkuat dunia Islam, yang tercatat dalam momen historis penaklukan Konstantinopel tahun 1453.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang