KOMPAS.com - Thalhah bin Ubaidillah tercatat dalam sejarah Islam sebagai salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempertaruhkan nyawanya demi melindungi Rasulullah dalam Perang Uhud serta dijuluki “syahid yang berjalan di muka bumi”.
Keberanian dan pengorbanannya membuat Nabi menyebut Thalhah sebagai sahabat yang telah berjihad dengan jiwa dan hartanya, sekaligus menempatkannya dalam deretan sahabat yang dijanjikan surga.
Thalhah bin Ubaidillah lahir di Makkah sekitar tahun 595 Masehi dari keluarga terpandang suku Quraisy.
Ayahnya, Ubaidillah bin Utsman dan ibunya, Asma binti Amir, dikenal memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang kuat.
Lingkungan ini membentuk Thalhah sebagai pemuda yang cerdas, berwibawa, dan memiliki pandangan hidup luas, tanpa larut dalam gaya hidup berlebihan yang umum di kalangan elite Quraisy saat itu.
Hidayah Islam datang melalui Abu Bakar as-Siddiq, sahabat dekat Nabi Muhammad SAW yang dikenal aktif mengajak orang-orang berpengaruh memeluk Islam.
Dari Abu Bakar, Thalhah mendengar langsung ajaran tauhid yang dibawa Rasulullah. Ia merasakan ajaran itu sejalan dengan nurani dan fitrahnya.
Keputusan memeluk Islam menjadikan Thalhah bagian dari kelompok awal kaum Muslimin di Makkah. Konsekuensinya tidak ringan.
Ia menghadapi tekanan dan siksaan dari kaum Quraisy, namun tetap bertahan dalam keyakinannya. Bersama Abu Bakar, Thalhah turut berhijrah dan mengorbankan kenyamanan hidup demi mempertahankan iman.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Perang Uhud pada tahun 625 Masehi menjadi salah satu peristiwa paling menentukan dalam hidup Thalhah bin Ubaidillah.
Awalnya, pasukan Muslim berada di posisi unggul. Namun situasi berubah ketika sebagian pasukan pemanah meninggalkan pos mereka, membuka celah bagi serangan balik kaum Quraisy.
Di tengah kekacauan itu, Nabi Muhammad SAW berada dalam ancaman serius. Anak panah dan pedang musuh mengarah ke posisi beliau. Saat itulah Thalhah berdiri di garis terdepan, menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup.
Ia menahan serangan demi serangan. Tangannya terluka parah, tubuhnya penuh luka, darah mengalir deras. Namun Thalhah tidak mundur. Fokusnya hanya satu yaitu memastikan Rasulullah SAW selamat dari serangan musuh.
Baca juga: Kisah Sumur Raumah: Sedekah Abadi Utsman Bin Affan Hingga Saat Ini
Dikutip dari buku Ensiklopedia Sahabat Nabi, Thalhah mengalami puluhan luka di tubuhnya. Salah satu tangannya bahkan nyaris tidak dapat digunakan kembali. Ia jatuh pingsan setelah memastikan Nabi berada dalam keadaan aman.
Melihat kondisi itu, Rasulullah SAW memberikan pujian yang kelak dikenang sepanjang sejarah.
Nabi menyebut Thalhah sebagai sahabat yang telah berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Dalam riwayat lain, Nabi menyebutnya sebagai syahid, meski ia masih hidup.
Sejak saat itu, julukan “syahid yang berjalan di bumi” melekat pada diri Thalhah. Sebuah gelar yang menggambarkan pengorbanan total, tanpa harus berakhir dengan kematian di medan perang.
Baca juga: Kisah Cinta Al-Fatih Penakluk Konstantinopel, Antara Pernikahan Politik dan Pengabdian pada Islam
Dalam tradisi Islam, syahid identik dengan mereka yang gugur di jalan Allah. Namun kisah Thalhah memperluas makna itu.
Syahid bukan hanya tentang kematian, melainkan tentang kesediaan menyerahkan diri sepenuhnya demi kebenaran.
Thalhah hidup setelah Perang Uhud, tetapi bekas luka di tubuhnya menjadi saksi pengorbanan yang nyata. Ia terus menjalani kehidupan sebagai Muslim yang setia, rendah hati, dan berkontribusi bagi umat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang