Editor
KOMPAS.com — Musyawarah Kubro yang digagas para Mustasyar dan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) kembali digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Minggu (21/12/2025).
Namun, seperti dua pertemuan sebelumnya di Pesantren Ploso dan Tebuireng, forum penting ini kembali berlangsung tanpa kehadiran Rais Aam PBNU KH Miftachul Achyar.
Ketidakhadiran Rais Aam untuk ketiga kalinya itu menambah kegelisahan para kiai sepuh NU. Mereka khawatir konflik internal yang tak kunjung menemukan titik temu dapat berdampak serius terhadap keutuhan jam’iyah NU.
Sejak awal, Musyawarah Kubro Lirboyo ditegaskan bukan sebagai forum pembelaan atau penghakiman terhadap pihak mana pun. Forum ini dimaksudkan sebagai ikhtiar membuka ruang komunikasi langsung dengan mengedepankan islah sebagai jalan penyelesaian, tetap berpijak pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Baca juga: Risalah Mlangi Serukan Islah PBNU dan Kembalikan NU ke Khittah 1926
Rais Syuriyah PBNU KH Muhibbul Aman Aly menjelaskan bahwa tujuan utama Musyawarah Kubro Lirboyo adalah mempertemukan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dengan Rais Aam. Menurutnya, hingga kini komunikasi langsung antara dua pucuk pimpinan PBNU tersebut belum terbangun.
“Forum Lirboyo ini tidak membela dan tidak menghukumi siapa pun. Ini semata-mata untuk membangun komunikasi dua belah pihak. Karena sepengakuan Gus Yahya, beliau belum bisa berkomunikasi langsung dengan pihak Rais Aam,” ujar KH Muhibbul Aman Aly dikutip dari siaran pers, Minggu (21/12/2025).
Ia mengungkapkan bahwa Rais Aam sempat menyatakan kesediaan hadir dengan sejumlah syarat, antara lain forum hanya dihadiri para Mustasyar, diupayakan dihadiri KH Yahya Cholil Staquf dan KH Ma’ruf Amin, berlangsung tertutup tanpa wartawan, serta tidak membatalkan keputusan Rais Aam. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil.
“Nampaknya ada pihak yang tidak menginginkan kehadiran KH Miftach ke Lirboyo. Karena itu, menurut saya konflik ini harus diselesaikan melalui muktamar yang benar-benar diakui, bukan muktamar yang justru melahirkan konflik baru,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH Abdullah Kafabihi Mahrus, menyampaikan keprihatinan mendalam atas dinamika yang berkembang. Ia menilai muncul banyak kejanggalan sejak pertemuan di Hotel Aston, Jakarta, yang memunculkan prasangka di kalangan warga NU.
“Mosok kiai sepuh diminta sowan ke sana, kan kurang elok,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa langkah-langkah sepihak berpotensi menyeret NU ke jurang perpecahan. Jika konflik terus berlarut tanpa jalan tengah, NU dikhawatirkan menghadapi dua muktamar.
“Kalau ulama cekcok, yang rugi adalah umat. Artinya kita semua sepakat islah, tinggal caranya bagaimana. Kalau ini tidak bisa ditempuh, jalan satu-satunya adalah muktamar sebagai jalan akhir,” tegasnya.
Mantan Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin yang mengikuti Musyawarah Kubro secara daring menegaskan bahwa forum Lirboyo merupakan pertemuan ketiga setelah Ploso dan Tebuireng, dan seharusnya menjadi momentum mengakhiri konflik agar tidak berkepanjangan.
Ia mengingatkan pentingnya mendahulukan kemaslahatan jam’iyah di atas kepentingan pribadi. Menurutnya, NU sejak awal menyelesaikan persoalan melalui musyawarah mufakat atau keputusan muktamar, bukan kehendak sepihak.
KH Ma’ruf Amin juga menilai dalih menghindari dharar yang belum nyata justru berpotensi melahirkan dharar yang lebih besar, yakni perpecahan jam’iyah. Ia menegaskan bahwa islah dan kembali ke mekanisme muktamar merupakan jalan paling maslahat.
Sementara itu, mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyampaikan keprihatinan atas kondisi NU yang kini menjadi sorotan publik. Ia menegaskan bahwa konflik yang terjadi bukan soal ambisi personal, melainkan persoalan tertib organisasi.
“AD/ART harus dihormati, jangan dianggap seperti bungkus kacang. Hormati para Mustasyar. Kalau pertemuan ketiga ini sampai gagal, sampai kapan kita harus sowan?” ujarnya.
KH Said Aqil juga menyoroti dampak konflik di tingkat pusat yang mulai merembet ke daerah. Ia menyebut gagasan mengembalikan mandat kepada pemilik suara muktamar sebagai opsi terakhir demi menjaga NU sebagai warisan besar para pendiri.
Di tengah situasi yang kian mengeras, sejumlah PC dan PW NU mulai menyuarakan tuntutan agar segera digelar muktamar yang legitimate. Bahkan, muncul ultimatum bahwa jika dalam waktu tiga hari tidak terjadi pertemuan langsung antara Ketua Umum PBNU dan Rais Aam, dorongan pelaksanaan muktamar akan semakin menguat.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sendiri telah menyampaikan jawaban tertulis atas berbagai tuduhan yang diarahkan kepadanya.
Baca juga: Mubes Warga NU Serukan Percepat Muktamar dan Tolak Konsesi Tambang
Dalam penjelasannya, Gus Yahya menyatakan bahwa tudingan tersebut dapat dipatahkan oleh kondisi riil di lapangan. Ia juga mengenang pesan mendiang KH Maimun Zubair yang menurutnya akan sangat bergembira apabila NU kembali menyelenggarakan muktamar.
Musyawarah Kubro Lirboyo pun ditutup dengan satu pesan kuat: islah tetap menjadi jalan utama, dengan AD/ART sebagai kompas bersama. Namun, absennya Rais Aam untuk ketiga kalinya menjadi penanda bahwa waktu terus berjalan, sementara jam’iyah NU dihadapkan pada pilihan-pilihan besar demi menjaga persatuan dan keutuhan organisasi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang