KOMPAS.com - Madinah memasuki tahun-tahun awal hijriah ketika suasana kota dipenuhi kesiapan menghadapi Perang Badar.
Di tengah barisan pasukan, Nabi Muhammad SAW melakukan pengecekan terakhir. Di antara mereka tampak seorang anak kecil dari Anshar yang belum genap berusia 12 tahun. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang panjangnya hampir menyamai tubuhnya.
Dengan penuh harap ia berkata ingin turut berjihad. Namun Rasulullah SAW dengan kasih seorang pendidik, menepuk pundaknya dan memintanya pulang.
Usianya masih terlalu dini. Bocah itu pulang dengan pedang diseret ke tanah, membawa rasa sedih dan kecewa.
Di belakangnya, sang ibu An-Nawar binti Malik ikut melangkah dengan hati yang tak kalah pilu.
Namun penolakan itu bukan akhir. Ia justru menjadi pintu menuju jalan pengabdian yang jauh lebih panjang dan menentukan.
Baca juga: Kisah Umar Bin Khattab, Dari Penentang Menjadi Pembela Islam
Gagal mengangkat pedang, bocah itu menemukan medan juangnya di ilmu pengetahuan dan hafalan.
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, Zaid menghafal Al Quran dengan ketekunan yang melampaui usianya. Kepada ibunya, ia menyampaikan tekad untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW melalui ilmu.
An-Nawar lalu menyampaikan kemampuan anaknya kepada Rasulullah. Zaid bin Tsabit demikian nama anak itu, mampu menghafal belasan surat Al Quran dan membacanya dengan pelafalan yang tepat, seolah ayat-ayat itu hidup di bibirnya. Setiap waqaf dibaca dengan pemahaman, bukan sekadar hafalan.
Rasulullah SAW melihat potensi yang jarang dimiliki: kecerdasan, ketelitian, dan amanah. Sejak saat itu, Zaid kian dekat dengan Rasulullah bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai penjaga kata.
Kepercayaan Rasulullah kepada Zaid tumbuh seiring waktu. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah memanggilnya, “Tulislah, wahai Zaid.”
Ia pun mencatat ayat-ayat Al Quran langsung dari lisan Nabi, memahami konteks turunnya ayat dan menyimpannya dengan ketelitian tinggi.
Tak hanya itu, atas perintah Rasulullah, Zaid mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani dalam waktu singkat.
Ia kemudian menjadi penerjemah surat-surat Rasulullah SAW, membaca dan menuliskan kembali pesan-pesan penting kepada kaum Yahudi dan pihak lain. Di usia muda, ia memikul tugas besar yang menuntut kecerdasan sekaligus kejujuran mutlak.
Baca juga: Perjuangan dan Bakti Tanpa Batas kepada Ibu, Kisah Uwais al-Qarni
Kedalaman ilmu Zaid bin Tsabit membuat para sahabat dan tabi’in memuliakannya. Abdullah bin Abbas, sepupu Rasulullah yang juga ulama besar, pernah menuntun kendaraan Zaid dengan penuh hormat.
Ketika Zaid melarangnya, Ibnu Abbas berkata, begitulah adab kepada ulama. Zaid lalu membalas dengan mencium tangan Ibnu Abbas, seraya berkata, begitulah adab kepada Ahlul Bait.
Kisah itu menjadi cermin etika keilmuan Islam, ilmu melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan.
Ketika Rasulullah SAW wafat dan umat hampir terpecah dalam perdebatan tentang kepemimpinan, Zaid bin Tsabit tampil dengan kalimat jernih.
Di Saqifah, saat Muhajirin dan Anshar saling mengemukakan pendapat, Zaid mengingatkan bahwa Rasulullah berasal dari Muhajirin dan Anshar adalah penolong setia.
Maka, khalifah sebaiknya dari Muhajirin, sementara Anshar tetap menjadi penopang kebenaran.
Ia lalu menggenggam tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan menyeru umat untuk berbaiat. Kata-katanya meredam fitnah yang nyaris membesar.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Zaid dipercaya menjadi koordinator pengumpulan Al Quran pada masa Abu Bakar.
Ia juga berperan penting dalam penyatuan mushaf pada masa Utsman bin Affan. Amanah itu dijalankannya dengan ketelitian luar biasa, seolah ia tahu bahwa tugasnya bukan untuk satu generasi, melainkan untuk seluruh umat.
Umar bin Khattab bahkan pernah berkata, siapa yang ingin bertanya tentang Al Quran, fiqih, atau warisan, hendaklah mendatangi Zaid bin Tsabit.
Dari bocah yang dipulangkan dari medan perang, Zaid tumbuh menjadi penjaga wahyu dan penjernih umat.
Ia membuktikan bahwa kemuliaan tak selalu lahir dari pedang, tetapi dari ilmu yang dijaga dengan amanah dan ketundukan hati.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang