KOMPAS.com-Dalam kehidupan rumah tangga, suami istri tentu akan menghadapi berbagai dinamika. Perdebatan kecil bisa saja berkembang menjadi pertengkaran besar.
Dalam kondisi emosi memuncak, seorang suami kadang kehilangan kendali dan mengucapkan kata-kata yang tidak diinginkan, seperti talak.
Situasi ini kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah talak yang diucapkan suami saat marah tetap sah menurut hukum Islam?
Baca juga: 34,6 Juta Pernikahan Tidak Tercatat, Kemenag Dorong Anak Muda Catat Nikah Resmi
Dilansir dari laman Kemenag, dalam kajian fikih, talak dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara pengucapannya.
Keabsahan talak kinayah bergantung pada niat suami. Jika kalimat tersebut diucapkan tanpa maksud menceraikan, misalnya hanya ingin mengakhiri pembicaraan, maka talak tidak jatuh. Namun, jika niatnya memang mengakhiri pernikahan, maka talaknya dianggap sah.
Baca juga: Gelar Seminar Pra-Nikah, MUI Luruskan Pandangan Menikah Itu Beban
Para ulama memiliki perbedaan pandangan mengenai keabsahan talak yang diucapkan dalam kondisi marah.
Sebagian ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari dari mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa talak tetap sah, meskipun suami mengklaim kehilangan kesadaran karena marah.
Ia menuliskan:
“Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah tetap jatuh, meskipun ia mengaku kehilangan kesadaran karena marah.”
(Fathul Mu’in, Semarang: Thoha Putra, hal. 112)
Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat sebaliknya. Mereka menilai talak tidak sah jika kemarahan sudah mencapai puncak hingga menghilangkan kesadaran seseorang. Kondisi tersebut disamakan dengan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi saat kambuh.
Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib al-Mujib menjelaskan:
“Empat orang yang pernyataan talaknya tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila —termasuk penderita epilepsi—, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa.”
(Semarang: Thoha Putra, hal. 48)
Baca juga: Fenomena Marriage is Scary, Angka Pernikahan Terus Menurun
Dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah, 2003), Syekh Abdurrahman al-Jaziri membagi tingkat kemarahan menjadi tiga kategori untuk menilai sah tidaknya talak.
Baca juga: Angka Pernikahan Turun Drastis, Kemenag Ajak Kampus Perkuat Ketahanan Keluarga
Untuk menentukan apakah seorang suami menjatuhkan talak dalam kondisi sadar atau tidak, diperlukan penilaian yang objektif.
Penilaian ini tidak cukup berdasarkan pengakuan suami saja. Bukti, saksi, dan pertimbangan dari pihak berwenang seperti petugas Kantor Urusan Agama (KUA) atau tokoh agama setempat juga dibutuhkan.
Konsultasi dengan pihak yang berkompeten penting dilakukan agar keputusan yang diambil sesuai dengan syariat Islam dan tidak menimbulkan kesalahan hukum.
Sebagai pemimpin keluarga, suami dituntut memiliki kematangan emosi dalam menghadapi konflik rumah tangga. Kemampuan mengendalikan diri saat marah menjadi kunci agar tidak mudah mengucapkan kata cerai, pisah, atau talak.
Sikap dewasa dan pengendalian emosi penting untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan demikian, penyesalan di kemudian hari dapat dihindari, dan kehidupan pernikahan tetap berjalan harmonis sesuai ajaran Islam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang