KOMPAS.com - Pembagian warisan dalam Islam bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga wujud dari nilai keadilan dan tanggung jawab moral terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Islam memandang waris sebagai perpindahan hak kepemilikan dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Harta tersebut bisa berupa harta bergerak, tidak bergerak, maupun hak-hak lain yang sah menurut syariat.
Dilansir dari website resmi JDIH Kabupaten Sukoharjo, dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai waris Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berdasarkan Pasal 194 ayat (1), seseorang yang telah berumur minimal 21 tahun dan berakal sehat berhak membuat wasiat—memberikan sebagian hartanya kepada orang lain atau lembaga, yang berlaku setelah ia meninggal dunia.
Baca juga: Siapa Ahli Waris yang Berhak Mendapat Dua Pertiga Bagian Menurut Islam?
Namun, wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan, kecuali seluruh ahli waris menyetujuinya. Artinya, meski pewaris memiliki kehendak tertentu, Islam tetap menjaga keseimbangan antara keinginan pribadi dan hak ahli waris lainnya.
Sebelum pembagian harta dilakukan, fiqih Islam menetapkan tiga rukun penting:
1. Al-Muwarrith – orang yang mewariskan hartanya, yaitu pewaris yang telah meninggal dunia.
2. Al-Wârits – ahli waris, yakni orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris dan berhak menerima warisan.
3. Al-Maurûts – harta atau hak yang diwariskan, baik berupa harta benda maupun hak kepemilikan lain.
Pembagian warisan baru bisa dilakukan setelah empat hal diselesaikan terlebih dahulu: biaya jenazah, pembayaran utang, zakat atas harta pusaka, dan pelaksanaan wasiat pewaris.
Menurut Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris adalah orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang secara hukum. Kelompok ahli waris terbagi menjadi dua:
Jika semua ahli waris hadir, maka yang berhak menerima hanyalah anak, ayah, ibu, serta pasangan pewaris (janda atau duda).
Namun, seseorang bisa terhalang menjadi ahli waris apabila terbukti secara hukum telah membunuh pewaris, atau memfitnahnya melakukan kejahatan berat.
Islam telah menetapkan porsi warisan secara rinci agar adil dan tidak menimbulkan sengketa. Misalnya:
Hukum waris Islam menekankan prinsip keadilan proporsional, bukan kesetaraan matematis. Pembagian dua banding satu antara laki-laki dan perempuan bukan bentuk diskriminasi, tetapi penyesuaian terhadap tanggung jawab ekonomi yang dalam Islam lebih besar dipikul oleh laki-laki.
Baca juga: Anak Tiri Dapat Warisan? Begini Penjelasan Hukum Islam tentang Harta Bawaan Istri
Melalui sistem waris ini, Islam mengajarkan keseimbangan antara hak, kewajiban, dan kasih sayang dalam keluarga.
Karena itu, memahami hukum waris bukan hanya penting secara hukum, tetapi juga menjadi bagian dari ibadah dan tanggung jawab iman dalam menjaga keadilan antar generasi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang