KOMPAS.com-Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang diutus untuk membawa risalah Islam dan menuntun manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Meskipun menjadi Rasul dan kekasih Allah, Muhammad SAW tetap manusia yang memiliki hati, perasaan, dan kasih sayang mendalam terhadap keluarga. S
Salah satu momen yang menunjukkan sisi kemanusiaan Rasulullah adalah ketika merasakan duka mendalam atas wafatnya sang putra, Ibrahim bin Muhammad.
Baca juga: 7 Keistimewaan Khadijah, Istri Nabi Muhammad yang Mulia
Ibrahim merupakan satu-satunya putra Rasulullah yang lahir bukan dari Khadijah, melainkan dari Maria al-Qibthiyyah, salah seorang istri Nabi. Ia lahir di Madinah pada tahun ke-8 Hijriah.
Sebagai ayah, Nabi Muhammad sangat mencintai Ibrahim dan menyayanginya dengan penuh kelembutan.
Namun, takdir Allah berkata lain. Saat usianya baru sekitar 18 bulan, Ibrahim wafat. Kepergian itu meninggalkan kesedihan mendalam dalam hati Rasulullah SAW.
Kesedihan Nabi Muhammad SAW tergambar dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim. Saat melihat jasad kecil Ibrahim yang telah tiada, air mata Rasulullah menetes. Melihat hal itu, para sahabat bertanya dengan hati-hati. Nabi kemudian bersabda:
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يُرْضِي رَبَّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Sesungguhnya mata ini meneteskan air mata, hati merasa sedih, namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Sungguh kami benar-benar berduka atas perpisahan denganmu, wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Doa Keselamatan yang Selalu Dibaca Nabi Muhammad SAW di Pagi dan Sore Hari
Hadis ini menunjukkan bahwa menangis karena kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang wajar dan manusiawi.
Kesedihan Rasulullah bukan bentuk kelemahan iman, melainkan ungkapan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan kisah lebih panjang tentang peristiwa ini dalam kitab Al-Mathalibul ‘Aliyyah (Riyadh, Darul Ashimah: 1418 H, juz 1, hal. 363).
Riwayat tersebut berasal dari tabi’in bernama Makhul, meskipun bersifat mursal karena tidak menyebut perantara sahabat.
Dalam riwayat itu disebutkan, Nabi Muhammad SAW masuk dengan bersandar kepada Abdurrahman bin Auf RA, lalu mendapati Ibrahim sedang menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Air mata Rasulullah pun menetes menyaksikan putranya yang sekarat.
Baca juga: 6 Sholawat Maulid Nabi Muhammad SAW Lengkap Arab, Latin, dan Artinya
Abdurrahman bin Auf kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, engkau menangis? Jika kaum Muslimin melihatmu menangis, tentu mereka pun akan ikut menangis.”
Rasulullah menatapnya dan menjawab dengan lembut:
إِنَّمَا هَذَا رَحْمَةٌ، وَإِنَّ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ، إِنَّمَا أَنْهَى النَّاسَ عَنِ النِّيَاحَةِ، وَأَنْ يُنْدَبَ الْمَيِّتُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ
“Ini adalah kasih sayang. Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi. Aku hanya melarang manusia dari niyahah (meratap berlebihan) dan memuji mayit dengan sesuatu yang tidak benar.”
Jawaban ini menggambarkan keseimbangan antara kelembutan hati dan keteguhan iman. Rasulullah tidak menolak kesedihan, tetapi menegaskan agar manusia tidak larut dalam ratapan yang melampaui batas.
Setelah putranya wafat, Rasulullah SAW kembali menenangkan hatinya dengan mengingat janji Allah bahwa seluruh hamba beriman akan dipertemukan kembali di akhirat kelak. Dalam sabda beliau disebutkan:
لَوْلَا أَنَّهُ وَعْدٌ جَامِعٌ، وَسَبِيلٌ مَأْتًى، وَأَنَّ الْآخِرَ مِنَّا يَلْحَقُ بِالْأَوَّلِ، لَوَجَدْنَا غَيْرَ الَّذِي وَجَدْنَا، وَإِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ، تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَجِدُ الْقَلْبُ، وَلَا نَقُولُ مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ، وَفَضْلُ رَضَاعِهِ فِي الْجَنَّةِ
“Seandainya tidak ada janji untuk berkumpul (di akhirat), dan yang datang kemudian akan menyusul yang terdahulu, niscaya kesedihan ini akan lebih berat. Sungguh kami bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim. Air mata menetes, hati berduka, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang membuat Allah murka. Dan sesungguhnya penyusuanmu disempurnakan di surga.”
Sabda ini menjadi pengingat bahwa keimanan menuntun hati untuk bersabar di tengah kehilangan.
Baca juga: Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW: Masa Pengasuhan Ibu, Kakek, dan Paman
Duka Nabi Muhammad SAW atas wafatnya Ibrahim memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam. Menangis atau bersedih karena kehilangan orang yang dicintai adalah fitrah manusia, selama dilakukan dalam batas wajar.
Rasulullah SAW melarang niyahah, yaitu meratapi kematian dengan berlebihan, menjerit, atau memuji mayit dengan hal yang tidak benar. Namun, beliau menegaskan bahwa air mata dan kesedihan adalah bagian dari kasih sayang, bukan tanda lemahnya iman.
Seorang Muslim boleh bersedih, tetapi tetap menjaga ucapan dan sikapnya agar tidak melampaui batas keridaan Allah SWT. Dari sini, umat Islam belajar bahwa kasih sayang dan kesabaran bisa berjalan berdampingan dalam menghadapi ujian kehilangan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang