Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat RUU Perampasan Aset dari Perspektif Islam

Kompas.com - 02/09/2025, 09:07 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com – Indonesia setiap tahun kehilangan potensi penerimaan negara dalam jumlah yang sangat besar akibat ketiadaan perangkat hukum yang memadai untuk menyita aset hasil tindak pidana korupsi.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini belum disahkan menjadi salah satu penghambat utama upaya pemulihan kerugian negara.

Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menegaskan urgensi RUU tersebut.

“Banyak aset hasil korupsi pada akhirnya tidak kembali kepada negara hanya karena keterbatasan hukum yang berlaku saat ini,” ujarnya, dikutip dari Kompas, 16 Juni 2025.

Baca juga: Ancaman Bagi Pemimpin atau Pejabat yang Tidak Amanah dan Menipu Rakyat

Menurutnya, selama tidak ada mekanisme hukum yang tegas, aset hasil korupsi rentan hilang. Tidak sedikit kasus ketika aset tidak dapat disita karena pelaku meninggal dunia, melarikan diri ke luar negeri, atau belum mendapat vonis pengadilan.

Perspektif Islam: Keadilan Dua Lapis

Jika ditilik dari pandangan Islam, kewajiban pengembalian aset hasil kejahatan bukanlah hal baru. Hadis riwayat an-Nasā’ī menegaskan bahwa seseorang yang mengambil harta orang lain bukan hanya harus mengembalikan, tetapi juga dijatuhi hukuman:

"Siapa saja yang mengambil barang orang lain (mencuri), maka ia harus mengganti dua kali lipat nilai barang yang ia ambil, dan ia juga harus dijatuhi hukuman." (HR. an-Nasā’ī, Kitāb al-Sariq, no. 4872).

Islam menekankan dua prinsip: pertama, pemulihan kerugian korban melalui ganti rugi; kedua, hukuman terhadap pelaku sebagai efek jera.

Imam al-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal bahkan menyebut, pelaku korupsi tetap wajib mengembalikan harta meski sudah dijatuhi hukuman pidana. Sebab, korupsi melanggar dua sisi sekaligus: hak Allah karena melakukan hal yang diharamkan, dan hak manusia karena merampas harta publik.

Selaras dengan Prinsip Syariat

Dalam Fikih Antikorupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah ditegaskan, pelaku tindak pidana korupsi wajib dimintai pertanggungjawaban harta.

Baca juga: Cendekiawan Lintas Agama Serukan Persatuan dan Reformasi Parlemen

 

Perampasan aset hasil korupsi dipandang sebagai bentuk perlindungan kepentingan publik sekaligus perbaikan stabilitas ekonomi.

Dengan demikian, RUU Perampasan Aset di Indonesia sejatinya sejalan dengan prinsip syariat Islam: mengembalikan harta korupsi berarti menegakkan hak masyarakat, sedangkan menghukum pelaku berarti menegakkan hak Allah.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke