KOMPAS.com - Hamzah bin Abdul Muthalib adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah awal Islam yang namanya selalu dikenang dengan penuh hormat.
Paman sekaligus saudara sesusuan Rasulullah ini lahir sekitar dua tahun sebelum Tahun Gajah, membuatnya sebaya dengan Nabi Muhammad SAW.
Sejak kecil, Hamzah tumbuh dekat dengan Rasulullah. Sosoknya dikenal berwibawa di kalangan Quraisy, sementara keberaniannya di medan perang membuatnya digelari Singa Allah (Asadullah) dan Pemimpin Para Syuhada (Sayyidu Syuhada).
Baca juga: MUI Tegaskan Penghayat Kepercayaan Bukan Agama, Minta Pemerintah Konsisten soal Kolom KTP
Julukan itu bukan sekadar gelar, melainkan cerminan dari pengorbanannya membela agama tanpa rasa gentar.
Hamzah adalah putra Abdul Muthalib dan Halah binti Wuhaib dari Bani Zuhrah. Uniknya, ia juga merupakan saudara sesusuan Nabi Muhammad, karena keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah. Kedekatan ini semakin menambah ikatan istimewa antara Hamzah dengan Rasulullah SAW.
Dalam catatan Sirah al-Nabawiyah karya Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, titik balik hidup Hamzah terjadi pada tahun keenam kenabian. Peristiwa itu bermula ketika Abu Jahal menghina bahkan melukai Rasulullah di Bukit Shafa.
Seorang budak perempuan yang menyaksikan kejadian itu segera melaporkannya kepada Hamzah, yang baru pulang berburu sambil membawa busurnya.
Tanpa banyak bicara, Hamzah mendatangi Abu Jahal di Masjidil Haram. Dengan penuh wibawa ia berkata, “Apakah engkau berani mencela anak saudaraku, padahal aku berada di atas agamanya?” Lalu ia memukul kepala Abu Jahal dengan tangkai busurnya hingga terluka. Sejak itulah Hamzah dengan mantap menyatakan diri masuk Islam.
Keputusan Hamzah membawa angin segar bagi kaum Muslimin yang saat itu masih minoritas. Kehadirannya sebagai pelindung Nabi dan pembela Islam menambah kekuatan moral umat.
Hamzah tampil gagah di dua pertempuran besar: Perang Badar dan Perang Uhud. Di Badar, keberaniannya menjadi salah satu kunci kemenangan umat Islam. Namun pada Perang Uhud, ia gugur syahid pada usia sekitar 59 tahun.
Riwayat menyebutkan, ketika Rasulullah SAW melihat jenazah Hamzah yang telah dimutilasi oleh musuh, beliau sangat berduka hingga meneteskan air mata.
Dalam Sunan Ibn Majah, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi menyalatkan para syuhada satu per satu, sementara jenazah Hamzah tetap di tempatnya, seolah menjadi pusat penghormatan.
Bahkan dalam Jami’ at-Tirmidhi disebutkan, Rasulullah SAW berkata di hadapan jasad Hamzah:
“Seandainya bukan karena Safiyyah (bibi Nabi) akan berduka, niscaya aku biarkan ia dimakan oleh binatang hingga dibangkitkan pada Hari Kiamat…”
Baca juga: Fathu Makkah: Penaklukan Kota Mekkah Tanpa Pertumpahan Darah
Keistimewaan Hamzah tidak berhenti di situ. Beberapa riwayat dalam literatur sirah menyebutkan, saat kuburnya terbuka karena banjir di medan Uhud berabad-abad setelah wafatnya, jasad Hamzah masih utuh bahkan mengeluarkan aroma wangi. Kisah ini semakin meneguhkan julukannya sebagai Sayyidu Syuhada.
Wafatnya Hamzah menjadi duka mendalam bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Namun keberanian, kesetiaan, dan pengorbanannya tetap hidup sebagai teladan. Ia bukan hanya paman Nabi, melainkan pahlawan besar Islam yang selalu dikenang sebagai Singa Allah yang gugur mulia di medan perang.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini