KOMPAS.com – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima kunjungan Center of Economic and Law Studies (Celios) terkait permohonan fatwa hukum mengenai gaji menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Pertemuan tersebut digelar di Kantor MUI, Kamis (18/9/2025).
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Amin Suma, mengatakan pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari permohonan fatwa yang diajukan Celios.
Dalam forum itu, Celios hadir sebagai mustafti (pihak yang meminta fatwa) untuk memberikan penjelasan lebih mendalam.
Baca juga: MUI Siap Kaji Fatwa soal Penghasilan Rangkap Jabatan Menteri dan Wamen
"Komisi Fatwa MUI menerima Celios sebagai bentuk tindak lanjut atas permohonan fatwa terkait gaji menteri-wamen merangkap jabatan komisaris di BUMN. Kami bertabayyun terkait apa dan bagaimana permohonan tersebut," kata Prof Amin Suma kepada MUIDigital, Selasa (23/09/2025) di Jakarta.
Ia menjelaskan bahwa sesuai standar MUI, proses pembahasan dan penetapan fatwa harus didahului dengan pemahaman utuh mengenai substansi permohonan.
Pertemuan dengan Celios pun berlangsung penuh keakraban, dengan tujuan mendalami persoalan yang diajukan.
Celios dalam kesempatan itu menegaskan bahwa permohonan fatwa ini merupakan bentuk tanggung jawab warga negara agar pejabat negara patuh pada peraturan perundang-undangan.
Apalagi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 telah menegaskan larangan bagi menteri maupun wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Namun, hingga kini aturan tersebut belum dijalankan pemerintah dan tidak ada menteri maupun wakil menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris.
"Akan tetapi hingga kini aturan tersebut belum ditaati. Untuk itu Celios hadir memberikan dorongan dan perspektif etika dan moral keagamaan sebagai salah satu ikhtiar solusi yang disampaikan," ujar Prof Amin.
Dalam surat permohonan bernomor 72/CELIOS/IX/2025, Celios mengajukan tiga pertanyaan utama kepada Komisi Fatwa MUI:
1. Bagaimana hukum penghasilan atau honorarium yang diterima Menteri dan Wakil Menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, mengingat larangan tersebut telah diputuskan secara hukum oleh MK?
2. Apakah penghasilan itu dinilai halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam?
3. Bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi hal ini agar sesuai dengan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara?
Baca juga: Munas MUI 2025 Siapkan Fatwa Perpajakan yang Adil dan Tak Menzalimi
Prof Amin Suma menegaskan bahwa Komisi Fatwa MUI pada prinsipnya menerima dan mendengarkan permohonan tersebut sebagai bagian dari tashawwur atau pendalaman atas masalah yang dimintakan pendapat keagamaan.
Hadir dalam pertemuan ini antara lain Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Arwani Faishol, KH Sulhan, KH Zafrullah Salim, serta perwakilan Celios: Galau D. Muhammad, Media Askar, dan Nailul Huda.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini