KOMPAS.com-Dalam ajaran Islam, pernikahan bukan hanya penyatuan dua insan, melainkan komitmen membangun kehidupan yang harmonis berlandaskan nilai keimanan dan tanggung jawab moral.
Salah satu prinsip penting dalam memilih pasangan hidup adalah sekufu atau al-kafa’ah, yang berarti kesetaraan antara calon suami dan istri.
Banyak orang menganggap sekufu identik dengan kesamaan status sosial atau ekonomi. Padahal, Islam memandang makna sekufu jauh lebih luas.
Kesetaraan dalam pernikahan mencakup aspek agama, akhlak, serta kemampuan kedua pasangan dalam menghadapi kehidupan rumah tangga.
Baca juga: Panduan Sholat Istikharah untuk Memilih Jodoh: Langkah dan Doa
Dilansir dari Antara, menurut mayoritas ulama, termasuk Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah, konsep al-kafa’ah bukanlah syarat sah pernikahan, melainkan pertimbangan etis demi menjaga keharmonisan rumah tangga.
Ulama besar Ibnu Qudamah rahimahullah juga menegaskan bahwa sekufu bersifat anjuran, bukan kewajiban mutlak dalam akad nikah.
Baca juga: Urutan Wali Nikah dalam Islam dan Ketentuannya
Meski begitu, faktor kesetaraan dapat memengaruhi kelangsungan pernikahan.
Apabila wali perempuan menilai calon suami tidak sekufu dengan anaknya, ia memiliki hak untuk mengajukan pembatalan atau faskh nikah.
Hal ini karena wali berhak memastikan calon menantu memiliki kemampuan dan kepribadian yang sepadan dengan putrinya.
Menurut ulama Al-Buhuti rahimahullah, kesetaraan dalam pernikahan mencakup beberapa dimensi penting berikut.
Kesamaan dalam tingkat keimanan, pemahaman agama, serta ketakwaan menjadi fondasi utama kesetaraan.
Pasangan yang sejalan dalam akhlak dan nilai-nilai keislaman cenderung lebih mudah membangun rumah tangga yang harmonis.
Dalam tradisi masyarakat tertentu, kesetaraan nasab masih menjadi pertimbangan.
Namun, sebagian besar ulama menilai faktor ini bersifat budaya, bukan syarat mutlak dalam pernikahan.
Baca juga: Panduan Sholat Istikharah untuk Memilih Jodoh: Langkah dan Doa
Pada masa lalu, status merdeka atau budak menjadi pertimbangan karena berpengaruh pada hak dan tanggung jawab dalam masyarakat.
Kini, aspek ini lebih dipahami sebagai keseimbangan peran dan tanggung jawab antara suami dan istri.
Kesetaraan juga berarti kemampuan untuk saling melengkapi.
Apabila salah satu pasangan memiliki kekurangan dalam satu aspek, tetapi unggul di bidang lain, maka pernikahan tetap dianggap sekufu selama keseimbangan tersebut terjaga.
Jika wali atau pihak perempuan merasa tidak ridha dengan pasangan yang dianggap tidak sepadan, mereka berhak mengajukan pembatalan pernikahan.
Hal ini sejalan dengan hadis dari Abdullah bin Buraidah, bahwa seorang gadis mengadukan pernikahan yang dipaksakan ayahnya demi status sosial.
Rasulullah SAW kemudian memberinya hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Syekh Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menegaskan, perempuan tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menyimpang dalam akidah atau meninggalkan kewajiban agama, seperti meninggalkan salat.
Apabila hal tersebut terbukti setelah akad berlangsung, pernikahan dapat dibatalkan secara hukum Islam.
Baca juga: Syarat Istri Boleh Gugat Cerai Suami dan Prosedurnya di Pengadilan Agama
Islam tidak menilai kesetaraan hanya dari harta, jabatan, atau keturunan, tetapi dari agama dan akhlak.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Tirmidzi,
“Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi.”
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran utama dalam memilih pasangan bukanlah kedudukan sosial, tetapi kualitas iman dan perilaku.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang