KOMPAS.com-Menteri Haji dan Umrah RI Mochamad Irfan Yusuf menegaskan bahwa pembagian kuota haji reguler 1447 H/2026 M antarprovinsi mengikuti prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Pernyataan itu disampaikan Menhaj Irfan Yusuf menanggapi adanya provinsi yang mengalami penambahan dan pengurangan kuota haji pada musim 2026.
Baca juga: Umrah Mandiri Diperbolehkan, Menhaj Tegaskan Peran PPIU Tak Tergantikan
Menhaj Irfan Yusuf menjelaskan bahwa aturan pembagian kuota sudah diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025.
“Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 mengatur secara tegas bahwa pembagian kuota haji reguler antarprovinsi harus mencerminkan keadilan dan proporsionalitas,” kata Menhaj Irfan Yusuf di Jakarta, Senin (17/11/2025), dalam rilis yang diterima KOMPAS.com.
Ia menyebut Pasal 13 ayat (2) memberikan tiga pendekatan pembagian kuota yang dapat digunakan pemerintah.
Pendekatan pertama didasarkan pada proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi.
Pendekatan kedua menggunakan proporsi jumlah penduduk muslim.
Pendekatan ketiga berupa kombinasi keduanya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Haji dan Umrah.
Baca juga: Saudi Perketat Aturan Haji 1447 H, Batas Pengajuan Visa hingga 1 Syawal Tanpa Perpanjangan
Gus Irfan menegaskan bahwa ketentuan baru tersebut menghadirkan reformasi penting dalam sistem pembagian kuota.
“Dengan ketentuan baru ini, UU 14/2025 menghadirkan reformasi mendasar dalam sistem pembagian kuota haji, memastikan bahwa setiap calon jemaah mendapatkan kesempatan berangkat secara lebih adil dan terukur, sesuai dengan waktu pendaftaran dan kondisi demografis masing-masing provinsi,” tegasnya.
Gus Irfan menjelaskan bahwa pemerintah memilih pendekatan waiting list karena paling memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemaslahatan.
“Pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah menetapkan opsi waiting list sebagai dasar pembagian kuota haji karena pendekatan ini dianggap paling memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemaslahatan bagi calon jemaah haji Indonesia,” ujarnya.
Keputusan tersebut merupakan hasil telaah mendalam, pembahasan dengan DPR, serta masukan publik yang menyuarakan panjangnya masa tunggu di banyak daerah.
Selama ini, pembagian kuota berbasis jumlah penduduk muslim dinilai memunculkan kesenjangan antarprovinsi.
“Dengan dasar waiting list, pembagian kuota mencerminkan urutan pendaftaran jemaah secara nyata, sehingga setiap calon jemaah memiliki hak berangkat yang lebih adil dan terukur,” jelasnya.
Baca juga: Indonesia dan Arab Saudi Sepakati Kuota 221.000 Jamaah Haji 2026, Fokus pada Kesehatan
Ia menegaskan bahwa pendekatan baru ini sekaligus menjawab keresahan masyarakat.
“Ini juga menjawab keresahan sosial dan tuntutan publik. Banyak jamaah yang sudah menunggu puluhan tahun tanpa kepastian. Opsi waiting list memberikan jawaban konkret terhadap aspirasi masyarakat, sekaligus memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan haji yang transparan dan akuntabel,” kata Gus Irfan.
Gus Irfan menambahkan bahwa kebijakan waiting list sesuai dengan amanat regulasi baru.
“Kesesuaian dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025. UU tersebut memberi ruang untuk pembagian kuota berdasarkan jumlah pendaftar, jumlah penduduk muslim, atau kombinasi keduanya,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan waiting list paling relevan karena mampu menekan disparitas masa tunggu nasional dan lebih mencerminkan keadilan substantif.
“Kebijakan berbasis waiting list bukan hanya pilihan teknokratis, tetapi juga langkah moral dan sosial untuk memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan lebih adil, transparan, dan berpihak pada umat,” tegasnya.
Kementerian Haji dan Umrah menggunakan data daftar tunggu nasional dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) sebagai dasar penyusunan kuota 2026.
Data tersebut merupakan daftar tunggu resmi seluruh Indonesia dengan cut-off 16 September 2025.
Jumlah pendaftar aktif terintegrasi mencapai 5.398.420 calon jemaah.
Angka tersebut kemudian digunakan dalam rumus pembagian kuota berbasis proporsi daftar tunggu.
“Kebijakan berbasis waiting list memastikan keadilan substantif dan kepastian berangkat bagi para calon jemaah yang telah lama menunggu, serta memperkuat akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan kuota haji secara nasional,” kata Gus Irfan.
Baca juga: Platform Nusuk Catat 40 Juta Pengguna di 190 Negara, Dorong Modernisasi Layanan Haji dan Umrah
Gus Irfan meluruskan anggapan bahwa perubahan besar dalam kuota provinsi disebabkan penurunan kuota nasional.
Ia menegaskan bahwa penyebabnya adalah perubahan rumus pembagian kuota.
“Disparitas yang tampak tajam antara kuota haji tahun 2026 dan tahun 2025 sebenarnya bukan karena perubahan jumlah kuota nasional, tetapi karena perubahan mendasar pada rumus pembagiannya,” ujarnya.
Mulai 2026, perhitungan kuota mengikuti UU 14/2025 sehingga provinsi dengan daftar tunggu panjang mendapat tambahan kuota, sedangkan provinsi dengan antrean lebih pendek mengalami penyesuaian.
“Kebijakan baru ini harus dipahami bukan sebagai bentuk ketidakstabilan, melainkan transformasi menuju keadilan dan kepastian,” kata Gus Irfan.
Baca juga: Kemenhaj RI Buka Rekrutmen Petugas Haji 1447 H/2026 M, Ini Tahapan dan Syaratnya
Ia menegaskan kembali bahwa pemerintah tidak mengurangi hak siapa pun.
“Perubahan ini bukan bentuk ketidakadilan, melainkan koreksi terhadap ketimpangan lama. Pemerintah tidak mengurangi hak siapa pun, justru memastikan setiap jemaah dihormati haknya sesuai urutan pendaftaran. Dalam jangka panjang, sistem ini akan menciptakan antrean yang lebih tertib, transparan, dan benar-benar adil bagi semua umat Islam di Indonesia,” tandasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama akun kamu.