KOMPAS.com — Di tengah tenda-tenda darurat yang dipenuhi lumpur dan bau tanah basah, para penyintas bencana di Sumatera menghadapi kenyataan pahit: air bersih menjadi barang mewah.
Tandon terbatas, sumur-sumur terendam lumpur, sementara kebutuhan paling dasar seperti minum dan memasak harus didahulukan.
Dalam situasi penuh ketidakpastian itu, muncul pertanyaan yang kerap menggantung di benak banyak penyintas: Bagaimana kami bisa tetap beribadah? Apakah shalat tetap wajib ketika air tidak tersedia? Apakah wudu boleh diganti dengan tayamum?
Baca juga: MUI: Korban Meninggal Akibat Bencana di Sumatera Termasuk Syahid
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan sekadar persoalan hukum fikih, tetapi juga cermin kegelisahan batin masyarakat yang ingin tetap dekat dengan Allah meski hidup di tengah keterbatasan.
Melalui Fikih Kebencanaan yang disusun Muhammadiyah sebagaimana dilansir dari situs resmi Muhammadiyah.or.id, umat diingatkan bahwa Islam adalah agama yang menyadari kondisi lapangan.
Syariat tidak pernah menuntut sesuatu di luar kemampuan manusia. Ketika air benar-benar tidak bisa digunakan — baik karena tidak ada, terkontaminasi, atau diprioritaskan untuk kebutuhan hidup — maka tayamum menjadi pengganti wudu dan mandi besar.
Landasan keringanan itu ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an. Dalam QS. an-Nisā’ ayat 43, Allah berfirman:
“…lalu kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik; sapulah wajah dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Pesan serupa diulangi lagi dalam QS. al-Māidah ayat 6, yang menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya, melainkan kebersihan dan kesempurnaan nikmat.
Ayat-ayat ini menjadi penegasan bahwa ketiadaan air bukan alasan untuk meninggalkan salat. Justru, inilah saatnya umat merasakan kelapangan rahmat Tuhan dalam kondisi paling sulit.
Keringanan itu bukan hanya konsep, tetapi juga dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, Rasulullah memperlihatkan tata cara tayamum yang sangat sederhana:
1. Menepukkan kedua telapak tangan ke tanah atau permukaan suci,
2. Menghembuskannya,
3. Mengusap wajah,
4. Mengusap kedua tangan hingga pergelangan.
Gerakan yang sederhana, cepat, dan penuh makna ini menjawab keresahan banyak penyintas yang takut ibadahnya terhenti hanya karena air tak dapat diakses.
Dalam tradisi fikih, ada kaidah yang sering disebut ketika umat menghadapi keterbatasan ekstrem:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang.”
Juga, firman Allah dalam QS. al-Taghābun ayat 16:
“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu.”
Dalam konteks bencana, dua prinsip ini menjadi pegangan yang menenangkan: ibadah tetap berlangsung, tetapi dengan cara yang paling mungkin dilakukan.
Di balik rentetan bencana yang memilukan, ada keteguhan spiritual yang justru menguat. Banyak penyintas yang tetap ingin menjaga kewajiban salat, walau dengan tangan berdebu dan pakaian seadanya.
Baca juga: Tata Cara Shalat Gaib untuk Korban Bencana Banjir di Sumatera
Di sinilah syariat menunjukkan wajah rahmatnya: tidak memberatkan, tetapi merangkul; tidak menekan, tetapi memberi ruang untuk tetap dekat dengan Allah.
Tayamum, bagi banyak orang di pengungsian, bukan sekadar pengganti wudu — tetapi simbol bahwa ibadah tidak berhenti hanya karena hidup berubah drastis. Sebaliknya, di tengah keterbatasan, justru muncul harapan baru: bahwa rahmat Allah selalu hadir, bahkan melalui debu yang sederhana.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang