KOMPAS.com - Utsman bin Affan ra dikenal sebagai sosok khalifah yang lembut, pemalu, dan sangat menjaga kehormatan diri.
Dalam kesehariannya, ia tekun beribadah, berpuasa, dan membaca Al-Qur’an. Bahkan pada hari-hari terakhir hidupnya, Utsman masih berpuasa dan menghabiskan waktu dengan mushaf di tangannya.
Keteguhan spiritual itulah yang menjadi fondasi sikapnya dalam memimpin umat Islam di masa penuh ujian.
Baca juga: Kisah Umar Bin Khattab, Dari Penentang Menjadi Pembela Islam
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, Utsman bin Affan bagi umat Islam.
Ia adalah tokoh utama di balik penyatuan mushaf Al-Qur’an, sebuah langkah monumental untuk menjaga kemurnian wahyu.
Selain itu, Utsman juga dikenal sebagai dermawan yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan umat, mulai dari membeli sumur agar bisa digunakan masyarakat Madinah, hingga memperluas Masjid Nabawi demi kenyamanan kaum muslimin.
Pada masa kepemimpinannya, wilayah Islam berkembang pesat. Kaum muslimin mencapai tingkat kesejahteraan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Distribusi harta berjalan merata, kebutuhan pokok mudah diperoleh, dan hubungan sosial antarsesama muslim terjalin dalam suasana saling menolong dan mencintai.
Namun, kemakmuran tidak selalu beriringan dengan ketenangan. Sebagian orang yang terlena oleh nikmat mulai melampaui batas.
Fitnah terhadap Utsman pun bermunculan. Sekelompok orang dari berbagai daerah mengepung rumahnya selama puluhan hari.
Mereka bahkan menghalangi keluarga Utsman mendapatkan air bersih dan mencegahnya pergi ke Masjid Nabawi untuk shalat berjamaah.
Ironisnya, mereka melupakan fakta bahwa Utsmanlah yang dahulu membeli sumur untuk kepentingan umum dan menginfakkan hartanya tanpa pamrih. Kebencian menutup mata nurani.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Ketika situasi semakin genting, ratusan sahabat dan keluarga Nabi bersiap melindungi Utsman.
Namun khalifah ketiga itu justru menolak dilindungi dengan kekerasan. Ia tidak ingin setetes darah kaum muslimin tertumpah demi menyelamatkan dirinya.
Utsman meminta agar pedang dikembalikan ke sarungnya dan menyerahkan sepenuhnya takdirnya kepada Allah.
Sikap ini menunjukkan keberanian moral yang jarang dimiliki, keberanian untuk mengorbankan diri demi persatuan umat.
Kedermawanan Utsman juga tercermin dalam kisah kafilah dagangnya. Suatu ketika, saat Madinah mengalami kesulitan, datang kafilah Utsman dengan ribuan unta bermuatan gandum, minyak, dan kebutuhan pokok.
Para pedagang menawar dengan harga tinggi, namun Utsman menolaknya. Ia mengatakan telah mendapatkan tawaran yang lebih baik.
“Tawaran dari Allah, sepuluh kali lipat,” ujarnya.
Seluruh barang dagangan itu pun disedekahkan kepada kaum muslimin. Rasulullah SAW memuji tindakan tersebut dan menyampaikan bahwa Utsman tidak akan mengalami kesulitan setelah hari itu.
Baca juga: Perjuangan dan Bakti Tanpa Batas kepada Ibu, Kisah Uwais al-Qarni
Utsman bin Affan wafat dalam keadaan syahid, saat ia sedang membaca Al-Qur’an. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam.
Namun lebih dari itu, ia mewariskan keteladanan tentang kepemimpinan yang berlandaskan iman, kesabaran, dan pengorbanan.
Di tengah hiruk-pikuk fitnah dan kepentingan, Utsman memilih jalan sunyi untuk menjaga persatuan, menghindari kekerasan, dan berharap hanya kepada Allah. Sebuah pelajaran berharga yang tetap relevan hingga hari ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang