KOMPAS.com - Rabu (20/8/2025) menandai Rabu terakhir Bulan Safar, yang dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai hari Rebo Wekasan.
Tradisi ini dipercaya sebagai hari turunnya bala atau musibah.
Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi ini?
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Miftahul Huda, menjelaskan bahwa penentuan hukum terhadap suatu tradisi harus diawali dengan pemahaman yang utuh mengenai tradisi tersebut.
Baca juga: Bolehkah Minum Kopi dalam Keadaan Panas? Ini Pandangan Ulama
"Rebo Wekasan sebagai suatu nama atau istilah, tidak bisa dihukumi sampai diketahui deskripsi yang utuh mengenai nama atau istilah tersebut.
Sebagaimana kaidah dalam keilmuan Islam: الحُكم على الشيء فرع عن تصوره, artinya: 'Menentukan status hukum (justifikasi) terhadap sesuatu harus dibangun atas dasar gambaran yang tepat tentang sesuatu itu,'" ungkapnya dilansir dari MUIDigital, Selasa (19/8/2025).
Kiai Miftah menjelaskan bahwa tradisi Rebo Wekasan memiliki berbagai aspek yang perlu ditelaah sebelum ditentukan hukumnya, yaitu aspek akidah (keyakinan), ibadah, dan muamalah (hubungan sosial serta kebiasaan).
Menurut Kiai Miftah, sebagian orang meyakini bahwa pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai jenis bala atau penyakit.
Keyakinan ini, menurutnya, tidak memiliki dasar dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Mayoritas ulama menyatakan tidak ada dalil yang sahih untuk mendasari keyakinan ini. Justru, meyakini turunnya takdir buruk pada hari tertentu dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tathayyur atau thiyarah, yaitu kepercayaan terhadap pertanda sial, yang dilarang Nabi Muhammad SAW," jelasnya.
Kiai Miftah mengutip hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim:
لا عَدْوَى و لا طيرةَ و لا هامةَ و لا صَفرَ ، و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسد
Artinya: "Tidak ada penularan (tanpa izin Allah), tidak ada kesialan karena burung, tidak ada hantu, tidak ada bulan Safar (yang dianggap sial), dan larilah dari orang yang terkena lepra seperti kamu lari dari singa." (Shahih Muslim, no 2220).
Baca juga: Perbedaan Husnul Khotimah dan Khusnul Khotimah, Jangan Sampai Salah Doa
Kiai Miftah menambahkan bahwa sikap menghindari aktivitas penting seperti menikah, bepergian, atau memulai usaha pada hari tersebut karena takut sial termasuk bentuk tathayyur yang dilarang dan dapat merusak keyakinan.
Namun, memilih waktu tertentu karena dianggap lebih afdhal (lebih baik) tidak termasuk dalam kategori tathayyur.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!