Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Menikahi Perempuan yang Ditinggal Suami Tanpa Kabar dalam Islam

Kompas.com - 14/10/2025, 13:05 WIB
Khairina

Editor

Sumber Kemenag

KOMPAS.com-Dalam kehidupan rumah tangga, tidak sedikit suami yang meninggalkan keluarganya untuk merantau dan mencari nafkah di tempat jauh.

Namun, sebagian istri menghadapi kenyataan pahit ketika suami mereka pergi tanpa kabar selama bertahun-tahun.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting dalam hukum Islam: apakah perempuan yang ditinggalkan suami tanpa kabar boleh menikah lagi?

Baca juga: 87 Pasangan WNI Ikuti Nikah Massal di Taiwan, Kemenag: Setiap Interaksi Suami-Istri Bernilai Ibadah

Dilansir dari laman Kemenag, dalam fikih, suami yang hilang dan tidak diketahui keberadaannya disebut mafqûd.

Hilangnya kabar dapat disebabkan berbagai hal, seperti bepergian tanpa pesan, menjadi korban bencana, atau meninggal tanpa ditemukan jasadnya.

Pandangan Ulama tentang Istri yang Ditinggal Suami Mafqûd

Para ulama memiliki dua pendapat utama terkait status hukum perempuan yang ditinggalkan suaminya dalam waktu lama tanpa kabar.

Pendapat Pertama: Tidak Boleh Menikah Sebelum Ada Kepastian

Pendapat pertama menyatakan, perempuan tidak boleh menikah kembali sampai ada keyakinan yang sah bahwa pernikahannya telah putus.

Hal ini bisa karena suaminya telah meninggal dunia, telah menjatuhkan talak, atau sebab lain yang memutuskan ikatan pernikahan secara hukum.

Setelah kepastian tersebut diperoleh, barulah si istri menjalani masa iddah sebagaimana ketentuan syariat.

Baca juga: 34,6 Juta Pernikahan Tidak Tercatat, Kemenag Dorong Anak Muda Catat Nikah Resmi

Pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam qaul jadid, yang menegaskan bahwa hukum asal dalam pernikahan adalah suami masih hidup dan hubungan pernikahan tetap sah hingga ada bukti kuat yang meniadakannya.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtâj menjelaskan:

“Suami yang hilang dan terputus kabarnya tidak menyebabkan istri boleh menikah lagi sampai ada dugaan kuat berdasarkan bukti, seperti pengumuman luas atau putusan hukum bahwa suaminya meninggal atau telah bercerai. Sebab hukum asalnya, kehidupan dan pernikahan masih dianggap sah hingga terbukti sebaliknya.” (Tuhfatul Muhtâj, jilid X, hal. 456).

Dengan demikian, perempuan yang suaminya mafqûd tetap berstatus sebagai istri hingga ada bukti nyata atau putusan hukum yang menyatakan sebaliknya.

Pendapat Kedua: Menunggu Empat Tahun dan Menjalani Masa Iddah

Pendapat kedua menyebutkan, istri yang ditinggal suami tanpa kabar harus menunggu selama empat tahun qamariyah.

Setelah masa itu berlalu, ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari sebelum diperbolehkan menikah lagi.

Batas waktu empat tahun ini diambil dari pendapat qaul qadîm Imam Asy-Syafi’i, yang merujuk pada masa maksimal kehamilan dalam hukum Islam.

Perhitungan masa tunggu dimulai sejak suami dinyatakan hilang atau sejak hakim mengeluarkan keputusan tentang status suaminya.

Baca juga: Urutan Wali Nikah dalam Islam dan Ketentuannya

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtâj menuliskan:

“Menurut qaul qadîm, istri menunggu empat tahun, dan masa itu dihitung sejak keputusan hakim. Setelahnya, ia menjalani masa iddah sebagaimana perempuan yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah kembali. Ketentuan ini mengikuti putusan Umar bin Khattab RA.” (Tuhfatul Muhtâj, jilid X, hal. 457).

Dasar Riwayat Para Sahabat dan Tabi’in

Pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam qaul qadîm ini juga didukung oleh sejumlah sahabat Nabi dan tabi’in.

Riwayat serupa disebutkan dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum.

Di kalangan tabi’in, pendapat ini diikuti oleh An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Makhul, dan As-Sya’bi.

Baca juga: Gelar Seminar Pra-Nikah, MUI Luruskan Pandangan Menikah Itu Beban

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari meriwayatkan:

“Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum bahwa istri mafqûd menunggu empat tahun. Riwayat sahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar juga menyebutkan hal yang sama. Pendapat ini diikuti oleh para tabi’in seperti An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Makhul, dan As-Sya’bi.” (Fathul Bari, jilid IX, hal. 538).

Berdasarkan dua pandangan ulama di atas, terdapat dua ketentuan hukum bagi perempuan yang suaminya hilang tanpa kabar.

Pertama, istri tidak boleh menikah kembali sebelum ada kepastian hukum bahwa suaminya telah meninggal atau bercerai, dan setelah itu menjalani masa iddah.

Kedua, istri boleh menikah kembali setelah menunggu empat tahun, kemudian menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.

Kedua pendapat ini sama-sama memiliki dasar kuat dalam fikih, dan penerapannya disesuaikan dengan kondisi serta keputusan pengadilan agama setempat.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke