KOMPAS.com-Istilah korupsi dikenal sebagai konsep modern yang tidak memiliki padanan persis dalam fikih klasik maupun hukum Islam.
Meski begitu, praktik yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi atau kelompok telah lama dibahas dalam ajaran Islam melalui sejumlah istilah yang menggambarkan unsur-unsur korupsi.
Dilansir dari laman Muhammadiyah, Alquran dan hadis mencatat beberapa bentuk perilaku tercela tersebut melalui beberapa istilah berikut.
Baca juga: Abdul Mu’ti Ingatkan Muhammadiyah Hindari “3K”: Konflik, Korupsi, dan Kerusakan
Ghulul merujuk pada pengkhianatan terhadap amanah yang seharusnya dijaga. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menyebut tindakan menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagikan kepada pihak yang berhak.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan ghulul sebagai al-khiyanah fi al-maghnam atau pengkhianatan terhadap harta rampasan perang.
QS. Ali Imran ayat 161 menyebut bahwa pelaku ghulul akan menerima balasannya di akhirat, tanpa disebutkan ketentuan sanksi spesifik di dunia.
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ١٦١
wa mâ kâna linabiyyin ay yaghull, wa may yaghlul ya'ti bimâ ghalla yaumal-qiyâmah, tsumma tuwaffâ kullu nafsim mâ kasabat wa hum lâ yudhlamûn
Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkan (-nya), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi.
Baca juga: Wamen Dahnil Pastikan SDM Kementerian Haji Bersih dari Korupsi
Risywah adalah tindakan memberikan sesuatu berupa harta atau manfaat lain untuk membatalkan hak orang lain atau memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
Al-Shan’ani dalam Subul al-Salam memaknai risywah sebagai “upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu”.
Hadis riwayat Ahmad dari Sauban menyebut bahwa Rasulullah SAW melaknat pelaku suap, penerimanya, serta pihak yang menjadi perantara keduanya.
Konsep korupsi dalam Islam juga dapat digambarkan melalui istilah akl al-suht, yakni memakan atau memanfaatkan sesuatu yang haram.
Al-suht merujuk pada tindakan menyalahgunakan jabatan, kekuasaan, atau kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu kelompok tertentu dengan menerima imbalan atas perbuatan tersebut.
Baca juga: MUI Dukung Pemberantasan Korupsi dan Dorong DPR Sahkan RUU Perampasan Aset
Istilah ini disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 42 serta ayat 62–63 yang menegaskan larangan keras terhadap praktik-praktik tersebut.
سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْۚ وَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٤٢
sammâ‘ûna lil-kadzibi akkâlûna lis-suḫt, fa in jâ'ûka faḫkum bainahum au a‘ridl ‘an-hum, wa in tu‘ridl ‘an-hum fa lay yadlurrûka syai'â, wa in ḫakamta faḫkum bainahum bil-qisth, innallâha yuḫibbul-muqsithîn
Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
وَتَرٰى كَثِيْرًا مِّنْهُمْ يُسَارِعُوْنَ فِى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٦٢
wa tarâ katsîram min-hum yusâri‘ûna fil-itsmi wal-‘udwâni wa aklihimus-suḫt, labi'sa mâ kânû ya‘malûn
Kamu akan melihat banyak di antara mereka (Ahlulkitab) berlomba-lomba dalam perbuatan dosa, permusuhan, dan memakan (makanan) yang haram. Sungguh, itulah seburuk-buruk apa yang selalu mereka kerjakan.
لَوْلَا يَنْهٰىهُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْاِثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ ٦٣
lau lâ yan-hâhumur-rabbâniyyûna wal-aḫbâru ‘ang qaulihimul-itsma wa aklihimus-suḫt, labi'sa mâ kânû yashna‘ûn
Mengapa para ulama dan pendeta tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan (makanan) yang haram? Sungguh, itulah seburuk- buruk apa yang selalu mereka perbuat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang