Editor
KOMPAS.com-Musibah merupakan peristiwa yang tidak diharapkan dan sering membawa kesulitan bagi seseorang maupun kelompok.
Musibah dapat terjadi dalam bentuk bencana alam, kecelakaan, atau kondisi buruk lain yang menguji ketahanan hidup.
Dalam ajaran Islam, musibah dipahami sebagai ujian yang hadir dalam perjalanan manusia.
Baca juga: Hikmah di Balik Bencana Alam: Panduan Islam Menghadapi Musibah dengan Bijak
Rasulullah SAW mengajarkan sikap yang sepatutnya ditunjukkan seorang Muslim saat menghadapi musibah.
Berikut lima sikap yang ditekankan dalam tuntunan Nabi Muhammad SAW ketika cobaan datang, dilansir dari laman MUI.
Islam memandang musibah sebagai ujian dari Allah SWT yang dapat mengandung hikmah bagi penguatan iman dan penghapus kesalahan.
Sikap sabar menjadi respons utama seorang Muslim saat cobaan terjadi.
Kesabaran tidak berhenti pada penerimaan keadaan, tetapi mencakup kesadaran bahwa ujian memiliki tujuan ilahi.
Seorang mukmin dapat memandang musibah sebagai jalan menuju rahmat Allah, bukan penutup kebaikan.
Baca juga: 7 Amalan Agar Selamat dan Dijauhkan dari Berbagai Macam Musibah
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa ujian dapat menjadi sebab kenaikan derajat atau penghapusan dosa.
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً
Artinya: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa duri atau sesuatu yang lebih menyakitkan darinya, melainkan Allah mengangkat derajatnya atau menghapus satu kesalahannya.” (HR Muslim)
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan bahwa kedua manfaat itu dapat terjadi sekaligus pada seorang mukmin.
وَهَذَا يَقْتَضِي حُصُولَ الأَمْرَيْنِ مَعًا: حُصُولَ الثَّوَابِ، وَرَفْعَ العِقَابِ
Artinya: “Hadits ini menunjukkan bahwa dua hal tersebut (pengangkatan derajat dan penghapusan dosa) dapat terjadi secara bersamaan.” (Fath Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol 10, h 105)
Pandangan tersebut menegaskan bahwa musibah dapat menjadi sarana pendidikan rohani sekaligus penyucian diri.
Keyakinan ini menumbuhkan keteguhan dan optimisme pada diri seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.
Sabar menjadi langkah awal menghadapi musibah, sedangkan ridha dipandang sebagai tingkat spiritual yang lebih tinggi.
Ridha berarti menerima ketentuan Allah SWT dengan lapang dada sebagai bentuk penyerahan diri kepada-Nya.
Sikap ridha mengubah musibah dari beban batin menjadi sumber ketenangan.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa besarnya balasan sebanding dengan beratnya ujian, dan ujian dapat menimpa orang-orang yang dicintai Allah.
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ ﷿ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ، فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Artinya: “Sesungguhnya besarnya balasan sesuai besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Maka barang siapa ridha, baginya keridaan Allah dan barang siapa murka, baginya kemurkaan Allah.” (HR Tirmidzi)
Baca juga: Doa Dijauhkan dari Musibah Dunia dan Agama Lengkap dengan Artinya
Syekh Mulla Al-Qari menjelaskan bahwa sikap seorang hamba berkaitan dengan balasan yang diterimanya dari Allah.
أَنَّ نُزُولَ الْبَلَاءِ عَلَامَةُ الْمَحَبَّةِ فَمَنْ رَضِيَ بِالْبَلَاءِ صَارَ مَحْبُوبًا حَقِيقِيًّا لَهُ تَعَالَى، وَمَنْ سَخِطَ صَارَ مَسْخُوطًا عَلَيْهِ
Artinya: “Turunnya bala’ (cobaan) merupakan tanda cinta Allah. Maka barangsiapa yang ridha terhadap ujian itu, akan menjadi hamba yang benar-benar dicintai oleh-Nya. Sebaliknya, siapa yang membencinya (tidak rela), maka ia akan menjadi orang yang dimurkai.” (Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Masabih [Beirut: Dar Al-Fikr], vol 3, h 114)
Ridha menjadi proses menyelaraskan hati dengan kehendak Allah sehingga seorang mukmin memperoleh ketenteraman.
Musibah dapat menjadi momentum evaluasi diri setelah seseorang memahami pentingnya sabar dan ridha.
Sebagian musibah bisa hadir setelah seseorang terjatuh dalam maksiat atau kesalahan, sehingga tobat menjadi langkah yang perlu segera dilakukan.
Tobat yang sungguh-sungguh menjadikan musibah sebagai pengingat sekaligus pendorong kembali kepada ketaatan.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Artinya: “Seseorang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa.” (HR Ibn Majah)
Syekh Mulla Al-Qari menerangkan bahwa tobat yang tulus dapat mengangkat keadaan seseorang, bahkan mengganti dosa menjadi kebaikan.
كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ أَيْ: فِي عَدَمِ الْمُؤَاخَذَةِ، بَلْ قَدْ يَزِيدُ عَلَيْهِ بِأَنَّ ذُنُوبَ التَّائِبِ تُبَدَّلُ حَسَنَاتٍ
Artinya: “Seperti orang yang tidak memiliki dosa, yakni dalam hal tidak adanya pertanggungjawaban atas dosa-dosanya. Bahkan bisa lebih dari itu, karena dosa-dosa orang yang bertobat dapat diganti menjadi kebaikan.” (Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Masabih [Beirut: Dar Al-Fikr], vol 4, h 1636)
Introspeksi, perbaikan diri, dan permohonan ampun menjadi jalan agar musibah membawa pelajaran, bukan sekadar lewat tanpa makna.
Ucapan istirja’ dianjurkan ketika musibah datang sebagai pengingat bahwa hidup berada dalam kuasa Allah SWT.
Istirja’ menegaskan keyakinan tauhid bahwa setiap ketentuan Allah mengandung hikmah dan manusia akan kembali kepada-Nya.
Rasulullah SAW menyampaikan keutamaan istirja’ yang disertai doa memohon pahala dan pengganti yang lebih baik.
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ، فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ اجْرُنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَجَرَهُ اللهُ فِي مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
Artinya: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah lalu ia mengucapkan apa yang Allah perintahkan: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku dan gantilah dengan yang lebih baik,’ melainkan Allah akan memberinya pahala atas musibah tersebut dan Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR Muslim)
Ulama menjelaskan bahwa istirja’ juga berperan sebagai pelindung hati saat jiwa sedang rapuh.
Imam As-Safirini Al-Hanbali mengutip penjelasan Syekh Syamsuddin Al-Mīnahī bahwa kalimat istirja’ menjadi sandaran bagi orang yang tertimpa musibah dan penjaga dari bisikan setan.
قَالَ الشَّيْخُ شَمْسُ الدِّينِ الْمِينَحِيُّ فِي كِتَابِهِ (تَسْلِيَةِ أَهْلِ الْمَصَائِبِ)، وَهُوَ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذْهَبِ: قَدْ جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ كَلِمَاتِ الِاسْتِرْجَاعِ وَهِيَ قَوْلُ الْمُصَابِ إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ مَلْجَأً وَمَلَاذًا لِذَوِي الْمَصَائِبِ .وَعِصْمَةً لِلْمُمْتَحَنِينَ مِنْ الشَّيْطَانِ، لِئَلَّا يَتَسَلَّطَ عَلَى الْمُصَابِ فَيُوَسْوِسَ لَهُ بِالْأَفْكَارِ الرَّدِيئَةِ، فَيَهِيجَ مَا سَكَنَ وَيَظْهَرَ مَا كَمَنَ، فَإِذَا لَجَأَ إلَى هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْجَامِعَاتِ لِمَعَانِي الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ فَقَدْ اعْتَصَمَ بِهَا مِنْ وَسْوَسَةِ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّ قَوْلَهُ إنَّا لِلَّهِ تَوْحِيدٌ وَإِقْرَارٌ بِالْعُبُودِيَّةِ وَالْمُلْكِ
Artinya: “Syekh Syamsuddin Al-Mīnahī dalam kitabnya Tasliyat Ahl Al-Maṣhā’ib, salah satu ulama besar mazhab, berkata: Allah SWT telah menjadikan kalimat-kalimat istirja‘ yaitu ucapan orang yang tertimpa musibah Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn sebagai tempat berlindung dan sandaran bagi mereka yang ditimpa musibah. Kalimat ini juga menjadi penjaga bagi orang-orang yang diuji, agar setan tidak menguasainya lalu membisikkan pikiran-pikiran buruk, yang dapat membangkitkan kembali apa yang sudah tenang, dan menampakkan apa yang tersembunyi. Ketika seseorang berlindung kepada kalimat-kalimat yang mengandung berbagai makna kebaikan dan keberkahan ini, maka ia telah menyelamatkan dirinya dari bisikan setan. Sebab ucapannya ‘Innā lillāh’ adalah pernyataan tauhid dan pengakuan atas kehambaan serta kepemilikan Allah terhadap dirinya.” (Ghidza Al-Albab Fi Syarh Mandzumah Al-Adab [Mesir: Muassasah Qurtubhah], vol 2, h 332)
Istirja’ mengembalikan kesadaran tentang hakikat kehambaan dan menautkan jiwa pada ketenteraman tauhid.
Baca juga: 3 Hakikat Musibah dalam Islam
Sikap menghadapi musibah tidak hanya tampak pada hubungan seorang hamba dengan Allah, tetapi juga pada kepeduliannya kepada sesama.
Musibah dapat menjadi momentum membangkitkan solidaritas sosial melalui bantuan nyata dan dukungan moral.
Bantuan dapat hadir dalam bentuk harta, tenaga, keahlian, maupun doa sesuai kemampuan masing-masing.
Rasulullah SAW menegaskan keutamaan meringankan kesusahan orang lain.
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: “Barangsiapa yang meringankan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari Kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Syekh Mulla Al-Qari menjelaskan bahwa balasan pertolongan Allah sejalan dengan bentuk pertolongan yang diberikan seorang hamba kepada saudaranya.
فِيهِ تَنْبِيهٌ عَلَى فَضِيلَةِ عَوْنِ الأَخِ عَلَى أُمُورِهِ، وَإِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ المُكَافَأَةَ عَلَيْهَا بِجِنْسِهَا مِنَ العِنَايَةِ الإِلٰهِيَّةِ؛ سَوَاءٌ كَانَ بِقَلْبِهِ أَوْ بِبَدَنِهِ، أَوْ بِهِمَا لِدَفْعِ المَضَارِّ، أَوْ جَلْبِ المَنَافِعِ؛ إِذِ الكُلُّ عَوْنٌ
Artinya: “Hadits ini menunjukkan keutamaan membantu urusan saudara seiman, serta isyarat bahwa balasan bantuan itu sejenis amalnya, berupa perhatian dan pertolongan Ilahi baik bantuan melalui hati, melalui fisik, atau keduanya, untuk menolak bahaya maupun mendatangkan manfaat, karena semuanya termasuk bentuk pertolongan.” (Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Masabih [Beirut: Dar Al-Fikr], vol 7, h 3104)
Kesimpulannya, lima sikap tersebut menjadi tuntunan Nabi Muhammad SAW agar seorang Muslim menghadapi musibah dengan ketenangan, keteguhan, dan keyakinan pada hikmah Allah SWT.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang