Editor
KOMPAS.com-Islam menempatkan prinsip halalan thayyiban sebagai pedoman utama dalam konsumsi makanan dan minuman yang halal serta baik bagi manusia.
Prinsip tersebut ditegaskan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 168 yang memerintahkan manusia mengonsumsi makanan halal dan menjauhi larangan Allah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Baca juga: Hukum Makan Balut: Halal atau Haram?
Larangan terhadap khamr juga ditegaskan dalam Alquran Surat Al-Maidah ayat 90 yang menyebut minuman memabukkan sebagai perbuatan setan.
Seiring berkembangnya industri farmasi modern, muncul pertanyaan di kalangan umat Islam mengenai hukum mengonsumsi obat yang mengandung alkohol.
Pertanyaan tersebut mengemuka terutama setelah beredarnya informasi mengenai sejumlah obat sirup yang mengandung alkohol.
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020–2025, Dr KH Fatihunnada, menjelaskan bahwa hukum penggunaan alkohol dalam obat tidak dapat disamaratakan.
Penentuan hukumnya bergantung pada sumber alkohol dan tujuan penggunaannya dalam produk tersebut.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang mengatur penggunaan alkohol dalam makanan dan obat-obatan.
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol membedakan secara tegas antara khamr dan alkohol.
Fatwa tersebut menegaskan bahwa setiap khamr mengandung alkohol, tetapi tidak semua alkohol tergolong sebagai khamr.
Penjelasan lebih rinci tercantum dalam Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol atau Etanol.
Baca juga: Fatwa Rekening Dormant MUI: Dana Nasabah Wajib Diingatkan dan Disalurkan Jika Tak Bertuan
Fatwa itu menetapkan bahwa minuman dengan kadar alkohol atau etanol lebih dari 0,5 persen dikategorikan sebagai khamr dan dihukumi haram serta najis.
Ketentuan tersebut berlaku tanpa melihat jumlah konsumsi, baik sedikit maupun banyak.
Berdasarkan fatwa tersebut, alkohol dalam produk dibedakan ke dalam dua kategori utama.
Kategori pertama adalah alkohol atau etanol yang berasal dari industri khamr.
Alkohol jenis ini berasal dari proses fermentasi minuman keras seperti anggur atau bir dan dihukumi haram serta najis.
Penggunaan alkohol hasil industri khamr tidak diperbolehkan dalam obat-obatan.
Kategori kedua adalah alkohol atau etanol yang berasal dari industri non-khamr.
Alkohol jenis ini dapat berasal dari proses sintesis kimia berbahan petrokimia atau fermentasi non-khamr.
Hukumnya tidak najis dan penggunaannya pada produk non-minuman dinilai mubah selama tidak membahayakan secara medis.
Baca juga: Fatwa MUI: Dana Zakat, Infak, dan Sedekah Kini Bisa untuk Iuran BPJS Ketenagakerjaan
Berdasarkan ketentuan tersebut, keberadaan alkohol dalam obat tidak otomatis menjadikan produk tersebut haram.
Penggunaan obat yang mengandung alkohol dapat ditoleransi dalam kondisi darurat apabila tidak tersedia alternatif obat halal.
Meski demikian, umat Islam tetap dianjurkan memprioritaskan obat yang memenuhi prinsip halal dan thayyib.
Pertimbangan tersebut bertujuan menjaga kesehatan fisik sekaligus konsistensi nilai keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang