Editor
KOMPAS.com-Balut adalah salah satu makanan yang paling ikonik dan ekstrem dari Filipina. Hidangan ini merupakan telur bebek atau ayam yang telah dibuahi, yang kemudian direbus dan disantap langsung dari cangkangnya.
Keunikan balut terletak pada isinya, yaitu embrio unggas yang sedang berkembang.
Baca juga: Kemenag Jelaskan Pentingnya Sertifikat Halal: Jadi Kunci Kepercayaan Konsumen
Dalam Islam, memilih makanan bukan hanya masalah rasa, tetapi juga ketaatan pada hukum syariat. Allah SWT secara tegas memerintahkan umat manusia untuk mengonsumsi yang halal dan baik (thayyib).
Perintah ini menjadi landasan dalam menentukan status hukum suatu makanan.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ١٦٨
yâ ayyuhan-nâsu kulû mimmâ fil-ardli ḫalâlan thayyibaw wa lâ tattabi‘û khuthuwâtisy-syaithân, innahû lakum ‘aduwwum mubîn
Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.(Q.S. Al-Baqarah [2]: 168)
Baca juga: Bekicot Darat, Halal atau Haram? Ini Penjelasan Lengkapnya
Hukum kehalalan balut sangat bergantung pada dua kondisi utama embrio di dalam telur saat ia dimasak: kesempurnaan organ dan peniupan roh.
Dilansir dari laman MUI Jatim, menurut informasi umum, masa inkubasi (penetasan) telur ayam adalah sekitar 21 hari. Dalam konteks balut, telur direbus dan disajikan menjelang waktu penetasan ini. Hal inilah yang kemudian memicu pertanyaan fikih:
Mengacu pada literatur fikih, seperti kitab Nihayah al-Zain (39/I), dijelaskan: "Jika telur dari hewan yang halal dimakan dipecahkan, lalu di dalamnya ditemukan anak (embrio) yang belum sempurna penciptaannya, atau sudah sempurna bentuknya tetapi masih belum ditiupkan ruh ke dalamnya, maka boleh dimakan."
Artinya, jika embrio masih pada fase awal tanpa adanya nyawa (roh), ia diperlakukan seperti bagian dari telur itu sendiri.
Baca juga: Pewarna dari Serangga Ternyata Halal Dikonsumsi, Ini Penjelasan MUI
Hukumnya menjadi haram apabila kondisi embrio tersebut sudah mencapai tahap di mana roh telah ditiupkan dan kemudian mati (karena direbus) tanpa melalui proses penyembelihan (dzakah) yang sesuai dengan syariat Islam.
"Berbeda halnya jika sudah ditiupkan ruh dan kemudian mati tanpa penyembelihan yang sesuai syariat, maka ia termasuk bangkai (tidak halal dimakan)." (Nihayah al-Zain, 39/I).
Hukum makan balut adalah haram jika embrio di dalamnya sudah sempurna organ tubuhnya dan diyakini sudah ditiupkan roh, karena matinya tanpa melalui penyembelihan syar'i sehingga statusnya menjadi bangkai. Namun, jika embrio tersebut masih dalam tahap awal perkembangan (belum ditiupkan roh), maka hukum asalnya adalah boleh dimakan.
Mengingat bahwa balut biasanya disajikan mendekati masa penetasan, kemungkinan besar organ embrio sudah cukup sempurna, dan status peniupan roh menjadi faktor penentu utama kehalalannya.
Oleh karena itu, bagi umat Muslim, dianjurkan untuk menghindari konsumsi balut sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyat) dari kemungkinan mengonsumsi bangkai.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang