Editor
KOMPAS.com - Wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai kritik keras.
Aktivis 98 sekaligus Wasekjen PBNU, Rahmat Pulungan, menilai usulan tersebut bukan solusi atas mahalnya ongkos politik, melainkan justru berpotensi menjadi bencana politik dan merampas hak rakyat.
Rahmat menegaskan, persoalan utama pembangunan daerah selama ini bukan terletak pada mekanisme Pilkada langsung, melainkan pada birokrasi yang mahal, boros, dan minim peningkatan kapasitas serta kapabilitas.
“Masalah di daerah itu akarnya ada pada birokrasi yang tidak efisien dan tidak ada improvement kapasitas. Pilkada itu instrumen, bukan tujuan,” ujar Rahmat dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025).
Baca juga: Wasekjen PBNU Desak Hentikan Tambang dan Sawit di Hutan Primer
Ia menilai, sebelum mengubah sistem pemilihan kepala daerah, partai politik seharusnya lebih dulu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah, termasuk dampak pemekaran wilayah yang selama ini justru dinilai membebani negara.
“Pemekaran daerah faktanya bukan mempercepat pelayanan, malah memperpanjang rantai birokrasi, tambah ruwet, tidak efektif, dan tidak efisien,” katanya.
Terkait tingginya biaya Pilkada, Rahmat menilai solusinya bukan dengan mencabut hak rakyat melalui pemilihan oleh DPRD, melainkan dengan merancang desain pemilu yang lebih sederhana, murah, dan praktis.
“Untuk efisiensi biaya dan efektivitas Pilkada, yang dibutuhkan itu desain pemilu yang lebih sederhana. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, saya yakin kita bisa membuat model yang jauh lebih praktis,” tegasnya.
Ia juga menepis anggapan bahwa mahalnya biaya politik bersumber dari rakyat. Menurutnya, biaya politik justru mahal karena dinamika elite di level atas, bukan tekanan dari masyarakat.
“Sumber biaya politik itu mahal karena dinamika di atas, bukan di bawah. Rakyat kita itu adaptif, mau diajak model apa pun sebenarnya siap,” ujarnya.
Rahmat juga mengusulkan pendekatan khusus untuk wilayah tertentu, seperti zona atau daerah ekonomi khusus, yang menurutnya tidak perlu Pilkada demi menjaga stabilitas politik dan kondusivitas ekonomi.
Namun secara prinsip, ia menekankan bahwa hak rakyat memilih pemimpin tidak boleh diambil.
“Memilih pemimpin daerah itu hak politik rakyat. Tidak berkah mengambil hak mereka. Jangan serakah,” tegas Rahmat.
Sebelumnya, Partai Gerindra menyatakan dukungan terhadap usulan agar gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Sugiono, menyebut mekanisme tersebut lebih efisien dari sisi anggaran dan proses.
Sugiono mencontohkan lonjakan dana hibah APBD untuk Pilkada yang pada 2015 hampir Rp 7 triliun dan meningkat menjadi lebih dari Rp 37 triliun pada Pilkada 2024.
Menurutnya, dana tersebut dapat dialihkan untuk program-program yang lebih produktif bagi kesejahteraan rakyat.
Ia juga menyoroti mahalnya ongkos kampanye calon kepala daerah yang dinilai menghambat figur-figur kompeten untuk maju.
Meski demikian, kritik Rahmat Pulungan menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan kedaulatan rakyat dan prinsip demokrasi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang