KOMPAS.com - Ali bin Abi Thalib dikenal luas sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang berani, tegas, dan berilmu.
Namun, di balik perannya dalam sejarah politik dan perjuangan Islam awal, tersimpan kisah cinta yang berjalan tenang dan penuh kesabaran.
Kisah itu adalah perjalanannya menuju pernikahan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah, sebuah ikatan yang oleh banyak sejarawan dipandang sebagai teladan rumah tangga Islami.
Baca juga: Kisah Cinta Salman Al Farisi yang Menginspirasi: Tak Ada Patah Hati
Ali tumbuh di rumah Nabi sejak kecil. Kedekatan ini membuatnya mengenal Fatimah bukan sekadar sebagai putri Rasulullah, melainkan sebagai pribadi yang tumbuh dalam nilai keimanan yang sama.
Dikutip dari buku Ali bin Abi Thalib karya Abdul Syukur al-Azizi, Ali telah menyimpan rasa kepada Fatimah sejak lama.
Namun, ia memilih menahan diri karena menyadari keterbatasan ekonomi dan posisinya sebagai pemuda sederhana.
Sikap ini menunjukkan bahwa cinta Ali tidak lahir dari ambisi, melainkan dari tanggung jawab dan adab.
Baca juga: Kisah Cinta Al-Fatih Penakluk Konstantinopel, Antara Pernikahan Politik dan Pengabdian pada Islam
Ketika Fatimah memasuki usia dewasa, beberapa sahabat utama mengajukan lamaran. Kitab Thabaqat al-Kubra dan riwayat dalam Musnad Ahmad mencatat bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab pernah melamar Fatimah.
Rasulullah SAW tidak menerima lamaran tersebut, namun juga tidak menolaknya secara terbuka.
Penangguhan ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk penjagaan terhadap ketentuan Allah.
Ali mengetahui peristiwa tersebut, tetapi tetap tidak segera melamar. Ia memilih menunggu dengan penuh adab, tanpa merasa tersaingi atau tergesa-gesa.
Setelah dorongan dari beberapa sahabat, Ali akhirnya memberanikan diri menyampaikan niatnya kepada Rasulullah SAW.
Nabi menyambut lamaran itu dengan menanyakan kesiapan Ali dan apa yang bisa ia jadikan mahar.
Ali menjawab ia hanya memiliki baju besi, satu-satunya harta bernilai yang ia miliki. Rasulullah menerimanya.
Riwayat menyebutkan bahwa Fatimah dimintai persetujuan secara langsung. Pernikahan ini dipahami oleh banyak ulama sebagai pernikahan yang berada dalam rencana ilahi.
Baca juga: Nasehat Ali Bin Abi Thalib: Tiga Cara Menjadi Manusia Terbaik
Pernikahan Ali dan Fatimah berlangsung pada tahun kedua Hijriah. Tidak ada kemewahan atau pesta besar.
Mahar yang sederhana dijual, hasilnya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan jamuan sekadarnya.
Peristiwa ini dicatat dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya Imam al-Tabari sebagai contoh pernikahan yang dibangun atas keberkahan, bukan kekayaan. Dari rumah tangga ini lahir Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum.
Kehidupan Ali dan Fatimah diwarnai kesederhanaan. Riwayat dalam Thabaqat al-Kubra menggambarkan Fatimah menggiling gandum hingga tangannya kasar, sementara Ali membantu pekerjaan rumah di sela-sela tugasnya. Hubungan mereka tidak lepas dari ujian, tetapi dijalani dengan saling memahami dan berdoa.
Baca juga: Nasehat Bermanfaat Ali bin Abi Thalib Bagi Kehidupan
Fatimah wafat lebih dahulu, meninggalkan duka mendalam bagi Ali. Setelah masa berkabung, Ali menikah kembali sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan keluarga.
Salah satu pernikahan yang dikenal luas adalah dengan Ummul Banin binti Hizam, ibu dari Abbas bin Ali.
Pernikahan-pernikahan ini dipahami oleh sejarawan sebagai kelanjutan peran sosial, bukan penghapusan cinta terdahulu.
Kisah Ali dan Fatimah bukan kisah romantika yang dipenuhi kata-kata puitis. Ia adalah kisah tentang menunggu, kesabaran, dan ketundukan pada kehendak Allah.
Penolakan lamaran Abu Bakar dan Umar, kesabaran Ali, serta pernikahan yang sederhana memperlihatkan bahwa cinta dalam Islam tidak selalu hadir dalam sorotan, tetapi tumbuh dalam keheningan yang bermakna.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang