KOMPAS.com - Al-Qur’an membuka kisah Ashab al-Kahfi atau dikenal juga dengan Ashabul Kahfi dengan satu penegasan penting, inilah kisah yang disampaikan dengan sebenar-benarnya.
Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Allah menambahkan petunjuk ke dalam hati mereka.
Sejak awal, kisah ini tidak dimaksudkan sebagai dongeng pengantar tidur, melainkan sebagai cermin bagi iman yang diuji dalam kondisi paling genting.
Baca juga: Surat Al Kahfi: Makna, Kisah, dan Keutamaannya dalam Islam
Ini adalah kisah tentang sekelompok anak muda. Belia, berani, dan teguh. Mereka hidup di bawah kekuasaan zalim yang memaksakan penyembahan selain Allah.
Tanpa rasa takut, mereka menyatakan keyakinan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan langit dan bumi, dan bahwa menyeru selain-Nya adalah kebohongan besar.
Pernyataan itu bukan sekadar deklarasi iman, melainkan perlawanan moral terhadap kekuasaan yang menindas.
Baca juga: Kejujuran Membawa Keselamatan, Kisah Imam Syafii Kecil
Dikutip dari buku Kisah-Kisah Pembebasan dalam Qur'an karya Eko Prasetyo, para pemuda ini hidup di bawah kekuasaan seorang penguasa zalim.
Sebagian kisah menamai sosok itu Dikyanus, sementara Tafsir al-Muntakhab mengaitkannya dengan masa Antiogonos IV Epifanes (176–164 SM), penguasa Yunani yang fanatik menyembah Zeus dan berupaya menghapus agama Yahudi dengan membakar Taurat. Siapa pun penguasanya, suasana zamannya jelas, iman menjadi ancaman politik.
Mereka yang menolak mengikuti ritual penyembahan berhala ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh.
Kekuasaan menjadikan keyakinan sebagai alat penindasan. Dalam iklim seperti itu, iman bukan urusan privat, melainkan sikap politik yang berisiko nyawa. Para pemuda ini memahami betul konsekuensi dari keyakinan mereka.
Yang menarik dari kisah Ashabul Kahfi adalah pilihan mereka. Mereka bukan nabi, bukan pula pemimpin gerakan bersenjata.
Mereka tidak berdakwah secara terbuka, tidak menggalang massa, dan tidak menantang kekuasaan secara frontal. Mereka memilih bersembunyi.
Pilihan ini sering disalahpahami sebagai bentuk ketakutan atau kekalahan. Padahal, Alquran justru mengabadikannya sebagai bentuk kebijaksanaan iman.
Mereka sadar, keyakinan saja tidak cukup untuk menandingi kekuasaan yang memiliki tentara, hukum, dan legitimasi paksa. Melawan secara terbuka justru akan memadamkan iman sebelum sempat berakar.
Keputusan itu diambil dalam keadaan genting. Mereka meninggalkan kota dan mencari perlindungan di sebuah gua.
Di sanalah mereka berdoa, memohon rahmat dan petunjuk. Doa itu dijawab dengan cara yang tak terbayangkan: Allah menidurkan mereka selama bertahun-tahun.
Baca juga: Kisah Al Thufail, Penyair Masuk Islam karena Dengar Lantunan Al Quran
Gua dalam kisah ini bukan sekadar tempat persembunyian. Ia adalah ruang sunyi untuk meneguhkan iman.
Dalam banyak kisah besar, gua selalu hadir sebagai simbol perjumpaan manusia dengan Tuhan, tempat yang sempit, gelap, dan jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan.
Alquran menggambarkan gua itu bukan sebagai ruang sesak, melainkan tempat yang lapang dan nyaman.
Matahari diarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menyengat mereka. Alam seolah tunduk untuk melindungi iman yang rapuh tetapi tulus. Apa yang tampak sebagai keajaiban sejatinya adalah ganjaran bagi keyakinan yang kokoh.
Tidur panjang para pemuda ini bukan inti kisah, apalagi sensasi utama. Alquran bahkan menegaskan bahwa Ashabul Kahfi bukanlah tanda kekuasaan Allah yang paling mengherankan. Yang lebih penting adalah makna di balik kebangkitan mereka.
Ketika terbangun, kegamangan manusiawi kembali muncul. Mereka bertanya-tanya berapa lama telah tertidur.
Sehari? Setengah hari? Mereka lapar. Mereka masih waspada. Salah seorang diutus membeli makanan dengan pesan penting, berlaku lemah lembut dan jangan menarik perhatian.
Kekhawatiran itu menunjukkan bahwa iman tidak menghapus rasa takut, tetapi mengajarkannya untuk dikelola.
Di sinilah ironi sejarah terjadi. Mata uang yang mereka gunakan telah usang. Kota yang mereka masuki telah berubah. Kekuasaan yang dahulu menindas telah runtuh. Zaman telah berganti, tanpa mereka sadari.
Baca juga: Kisah Abu Darda, Dari Pedagang Berhala Menjadi Guru Umat Islam
Pertemuan para pemuda ini dengan masyarakat baru menjadi penegasan besar tentang janji Allah.
Jika Allah mampu menidurkan dan membangunkan manusia lintas zaman, maka kebangkitan di hari kiamat bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kisah ini menjadi argumen Qur’ani tentang pertanggungjawaban akhir manusia atas perbuatannya.
Karena itu, perdebatan tentang jumlah pemuda, nama mereka, atau lamanya tidur mereka justru dipinggirkan oleh Alquran.
Fokus dialihkan pada pesan utama, iman tidak boleh dikompromikan, tetapi juga tidak selalu harus diekspresikan dengan konfrontasi.
Ashabul Kahfi mengajarkan bentuk iman yang sunyi. Iman yang tidak berisik, tidak memvonis, dan tidak memamerkan diri.
Dalam istilah para ulama, sikap ini mendekati konsep wara’ menjauh dari segala sesuatu yang bisa mencemari iman.
Ibn Qayyim al-Jauziyah menyebutnya sebagai kesucian diri yang bertingkat, dari meninggalkan keburukan hingga menjauh dari apa pun yang melalaikan dari Allah.
Dalam kacamata ilmu sosial modern, pilihan ini sejalan dengan apa yang disebut James C. Scott sebagai perlawanan diam-diam, strategi defensif yang tidak konfrontatif tetapi efektif.
Para pemuda ini tidak merebut kekuasaan, tetapi menyelamatkan iman. Mereka tidak menggulingkan rezim, tetapi memastikan nilai kebenaran tetap hidup lintas zaman.
Kisah Ashabul Kahfi disampaikan kepada umat yang hari ini hidup dalam kondisi jauh lebih aman.
Ironisnya, justru dalam keamanan itulah iman sering menjadi arogan, merasa paling benar, dan mudah menghakimi.
Para pemuda gua itu mengajarkan sebaliknya, iman yang rendah hati, dijaga dalam kesunyian, dan dipegang erat tanpa perlu menginjak yang lain.
Mereka memilih gua bukan karena kalah, melainkan karena tahu kapan harus bertahan dan kapan harus menepi.
Sebuah pelajaran besar dari anak-anak muda yang tidak banyak bicara, tetapi kisahnya menggema sepanjang zaman.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang