KOMPAS.com - Nama Abu Darda dikenal dalam sejarah Islam sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang zuhud, berilmu, dan tegas dalam menjaga jarak dari gemerlap dunia.
Namun, perjalanan hidupnya tidak serta-merta dimulai dari kesalehan. Ia pernah menjadi pedagang sukses di Madinah, bahkan menjadikan berhala sebagai bagian dari ritual kesehariannya, sebelum akhirnya mengalami titik balik yang menentukan arah hidupnya.
Abu Darda yang bernama asli Uwaimir bin Malik Al-Khazarji, dikenal sebagai pedagang mapan.
Setiap pagi ia merapikan tokonya, mengenakan pakaian terbaik, dan memberi persembahan kepada berhala yang ia yakini sebagai pelindung usaha.
Kehidupan yang stabil secara ekonomi membuatnya merasa cukup dan aman, meski di sekelilingnya Islam mulai berkembang pesat pasca hijrah Nabi ke Madinah.
Kedekatannya dengan Abdullah bin Rawahah, sahabat Nabi yang telah lebih dahulu memeluk Islam, menjadi pintu awal perubahan.
Abdullah tak pernah memutus silaturahmi, meski Abu Darda masih bertahan dalam keyakinan lama.
Baca juga: Kisah Utsman bin Affan: Khalifah Dermawan yang Gugur Syahid
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, peristiwa penentu terjadi ketika Abdullah bin Rawahah memasuki rumah Abu Darda saat ia sedang tidak berada di rumah.
Berhala yang selama ini diagungkan dihancurkan. Sepulangnya ke rumah, Abu Darda mendapati berhalanya telah rusak.
Amarah sempat muncul, tetapi segera mereda, berganti dengan kesadaran mendalam: jika berhala itu benar memiliki kekuatan, tentu ia mampu melindungi dirinya sendiri.
Kesadaran rasional itu menuntunnya menemui Abdullah bin Rawahah dan kemudian menghadap Rasulullah SAW.
Abu Darda menyatakan keislamannya, menjadi salah satu sahabat terakhir dari kaumnya yang masuk Islam.
Masuk Islam menjadi titik balik radikal. Abu Darda menyadari banyak waktu terbuang untuk dunia, sementara bekal akhirat nyaris tak disiapkan.
Ia pun memilih meninggalkan perdagangan dan memusatkan hidupnya pada ibadah dan pencarian ilmu. Baginya, dunia hanya sekadar alat, bukan tujuan.
Ia dikenal hidup sederhana, bahkan menolak kenyamanan yang berlebihan. Dalam satu kisah, Abu Darda memilih tidak menyediakan selimut bagi tamu-tamunya, mengajarkan bahwa beban dunia harus diringankan, bukan ditumpuk. Prinsip hidup ini ia jalani dengan konsisten, bukan sebagai simbol, melainkan keyakinan.
Baca juga: Keimanan yang Dibayar Mahal, Kisah Keteguhan Khalid bin Said Al Ash
Abu Darda bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga pendidik umat. Di Damaskus, ia memimpin majelis ilmu, mengajarkan Al-Qur’an, dan menasihati masyarakat dengan bahasa yang jujur dan tajam.
Ia tak segan mengingatkan penguasa dan masyarakat tentang bahaya cinta dunia yang berlebihan.
Ketegasan sikapnya tampak ketika ia menolak tawaran Umar bin Khattab untuk menjadi pejabat negara.
Abu Darda memilih peran sebagai guru dan pembimbing umat, karena baginya kekuasaan bukan jalan utama menuju keridaan Allah.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman AS: Pemimpin Bijak dengan Karunia Besar
Hingga akhir hayatnya, Abu Darda menetap di Damaskus, mengajar, menasihati, dan hidup dalam kesederhanaan.
Menjelang wafat, ia hanya mengkhawatirkan dosa-dosanya, bukan harta atau kedudukan. Kalimat tauhid menjadi penutup hidupnya.
Kisah Abu Darda menghadirkan potret transformasi moral yang kuat. Dari pedagang berhala menjadi guru umat, dari kenyamanan dunia menuju keteguhan iman. Sebuah teladan bahwa perubahan sejati selalu dimulai dari keberanian menata ulang orientasi hidup.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang